SELAMAT DATANG

DI PUSAT INFORMASI DAN KEGIATAN

ALUMNI PONPES SABILUL JANNAH

TIMBULUN

Cari Blog Ini

Selasa, 25 Oktober 2011

Terorisme Menurut Pandangan Islam dan Barat

aksi terorisDewasa ini, terorisme merupakan salah satu topik pembahasan terpenting yang kerap menjadi obyek pembicaraan kalangan politisi dan para ahli. Dikarenakan pentingnya permasalahan ini, banyak tulisan-tulisan dan ide-ide yang dituangkan dengan berbagai macam cara guna mengkaji masalah ini.
Tiidak dapat diragukan, pasca peristiwa 11 September di dunia barat terjadi gelombang serangan terhadap Islam, gelombang serangan ini sedemikian besar sehingga tidak dapat tersembunyi dari siapa pun. Dengan dalih memerangai teroris, ajaran-ajaran luhur agama Islam luput menjadi obyek sasaran penguasa-penguasa barat, dan kaum muslimin diperkenalkan sebagai wajah-wajah terroris. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan dana besar dan kebijakan apapun guna menjaga kepentingan pemerintahan dan rezim mereka. Mereka lupa bahwa sejak semula keberadaannya, Islam telah mencanangkan perang melawan terorisme sebagai salah satu agendanya, dan di masa dimana kekerasan menjadi ideologi masyarakat kala itu, Islam datang seraya menjunjung tinggi jiwa, kepemilikan dan harkat martabat manusia.
Dari sisi lain, saat ini masyarakat internasional mengalami krisis dalam pendefinisian istilah terorisme, bahkan berbagai perundingan yang digelar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) guna merumuskan definisi global yang disepakati negara-negara dunia, acap kali mengalami kegagalan. Kondisi ini telah dimanfaatkan oleh negara-negara yang haus kekuasaan, dimana dengan mengartikan terorisme sesuai pandangan mereka dan demi menjaga kepentingan nasional negara mereka, mereka segera menyerang musuh-musuh dengan mengatasnamakan perang terhadap terorisme.
Oleh karenanya, perlu bagi kami untuk menjelaskan pandangan Islam mengenai terorisme. Dengan acuan ini, semula kami akan mengkaji arti leksikal dari kata terorisme dan membahas beberapa permasalahan seputar hal ini. Tentunya dikarenakan kata dan istilah ini berasal dari literatur barat, sudah sepatutunya kami pun mengkaji serta menjelaskan definisi dan pengertian teroris menurut pandangan barat. Kemudian kita pun akan mengkaji pandangan Islam terkait masalah ini. Pada akhirnya, dengan perpijak pada titik-titik persamaan dalam definisi dari istilah yang ada, kami akan menjelaskan poin-poin utama pengertian terorisme yang terdapat dalam ajaran-ajaran agama Islam.
Intinya, studi ini mencoba untuk membuktikan bahwa agama Islam bukan hanya agama anti teror dan terorisme, bahkan ia adalah agama yang memiliki strategi yang matang dalam memerangi dan menghadapai aksi terorisme. selain itu artikel ini pun berupaya untuk menyampaikan pandangan Islam mengenai terorisme dengan menyoroti persamaan-persamaan yang ada dalam pendefinisiannya.
Definisi Terorisme
1. Arti leksikal terorisme
Terorisme merupakan kata yang berasal dari literatur barat, oleh karenanya dalam kamus-kamus kuno dunia Islam, kita tidak menemukan kata-kata semacam ini. Namun sebagian ahli bahasa kontemporer mencantumkan istilah ini dalam kamus bahasanya, salah satunya adalah Dehkhoda yang dalam kamusnya saat mengartikan kata ‘teror’ ia menulis, “Teror berasal dari kata “Terreur” yang berartikan pembunuhan bermotif politik dengan menggunakan senjata, dimana hal ini telah umum digunakan dalam bahasa Persia, dan ahli bahasa Arab kontemporer mengunakan kata-kata ‘ihraq’ (pertumpahan darah) sebagai ganti dari kata teror. Kata-kata ini (Teror) dalam bahasa Perancis berartikan kepanikan atau ketakutan, dan teror menjadi prinsip pemerintah revolusioner yang berkuasa di Perancis setelah jatuhnya kekuasaan Gironde (sejak 31 Mei 1973 hingga 1974) yang banyak menjatuhkan eksekusi dengan alasan politik.”
Dalam kamus ini disebutkan, definisi terorisme ialah prinsip pemerintahan yang didasari intimidasi dan tekanan, dimana hal ini merupakan prinsip pemerintahan yang berkuasa di Perancis pada tahun 1793-1974. Dalam bahasa Parsia kata-kata ini ditujukan terhadap sebuah prinsip yang didalamnya terdapat dukungan atas pembunuhan dan teror yang bersifat politik.
Sebagaimana yang kita saksikan, dalam kamus-kamus bahasa sekalipun, arti terminologi terorisme juga menjadi bahan perhatian. Dan untuk mengetahui lebih baik arti akan makna istilah ini, tidak ada jalan lain kecuali kita mengkaji arti terminologikal kata-kata tersebut. Tentunya dalam kamus-kamus bahasa dapat ditemukan kata-kata ‘teror’, akan tetapi arti teror tidaklah sama dengan arti terorisme, diantara dua dan istilah ini terdapat perbendaan-perbedaan arti yang akan kami sebutkan pada bagian mendatang.
2. Arti terminologikal Terorisme
Terdapat banyak perbedaan antara para ahli bahasa dalam pendefinisian ‘terorisme’, perbedaan ini sedemikian kental sehingga seakan-akan masing-masing dari mereka sedang membicarakan satu hakikat yang berbeda dan tidak saling berkaitan. Sebagian penulis yang mengkaji masalah ini biasanya menyebutkan beberapa definisi mengenai terorisme, namun saat menyimpulkan definisi-definisi tersebut mereka pun menghadapi kesulitan dan pada akhirnya mereka mengemukakan definisi lain sesuai pandangan mereka.
Atas dasar ini, kami akan membawakan sebagian dari definisi yang ada dan menyoroti poin-poin khusus yang terkandung dalam masing-masing definisi tersebut sehingga dengan demikian kita dapat menemukan titik persamaan dan perbedaan di dalamnya.
A. Sebagian ahli berpendapat bahwa terorisme bukanlah sebuah ideologi, akan tetapi ia adalah satu aktifitas dan tindakan. Dengan artian, terorisme adalah sebuah praktik dimana berbagai komunitas dari beragam kelompok dan organisasi -baik secara berkesinanbungan maupun sementara- terlibat di dalamnya. Terkadang aksi ini terjadi untuk sementara waktu dan terkadang berkelanjutan dan dengan model dan modus yang berbeda-beda. Berdasarkan definisi ini, terorisme adalah tindakan kekerasan yang berbau politik[1].
B. Dalam kamus The International Relations Dictionary disebutkan, Terorisme adalah kegiatan (aksi) aktor pemerintah maupun non-pemerintah yang mencoba menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan politik mereka.
C. Berdasarkan definisi yang disebutkan dalam kamus Mu’jam Al-Washit, teroris ialah orang-orang yang menempuh jalan kekerasan guna meraih tujuan politik.
D. Dalam A Dictionary of Modern Politics disebutkan, Terorisme ialah mengunakan politik kekerasan sebagai alat atau sarana untuk menekan pemerintah atau masyarakat agar menerima perubahan politik atau sosial yang mendasar.
E. Dictionary of Political Science menyebutkan dua definisi terorisme. Menurut definisi pertama, terorisme ialah satu fenomena yang di dalamnya terkandung kegiatan yang ekstrim dan penuh kekerasan, seperti pembunuhan dengan sengaja, memborbardir, atau melempar seseorang dari atas gedung, yang dilakukan secara individual maupun berkelompok dengan klaim bahwa aksi-aksi tersebut bertujuan guna untuk perbaikan kondisi politik. Adapun menurut definisi kedua, terorisme ialah usaha dalam mencapai tujuan-tujuan politik dengan jalan kekerasan dan intimidasi.
F. Noam Chomsky saat mendefinisikan terorisme’ menuliskan, “Terorisme ialah penggunaan cara kekerasan yang ditargetkan kepada warga sipil dalam upaya guna mencapai tujuan politik, agama atau semacamnya[2].”
G. Sebagian ahli yang kanjian mereka dalam lingkup hukum nasional mendefinisikan terorisme dengan demikian; Terorisme ialah tindakan-tindakan kejahatan (makar) anti negara yang bertujuan menciptakan rasa takut pada masyarakat atau kelompok tertentu atau bahkan seluruh warga negara[3].
H. Menurut pandangan ahli lainnya, praktik terorisme ialah membunuh, mengancam, menciptakan rasa takut dan panik dalam masyarakat guna mencapai tujuan politik atau bermaksud menggulingkan maupun mengambil alih kekuasaan sebuah pemerintahan ataupun menyerahkannya kepada kelompok lain yang diinginkan[4].
I. Dalam definisi lainnya disebutkan, Terorisme ialah keyakinan akan ilegalnya mengunakan jalan-jalan kekerasan secara tidak sah dengan tujuan menciptakan rasa takut guna mencapai tujuan politik atau agama[5].
J. Ali Agha Bakhsyi dalam Farhang-e Ulum-e Siyosi menyebutkan tiga definisi dan kriteria dari terorisme:
1. sebuah sistem pemerintahan teror dan keyakinan akan keharusan melakukan pembunuhan dan menciptakan ketakutan dalam masyarakat, atau bentuk pemikiran yang menghalalkan segala bentuk tindakan untuk mencapai tujuan politik.
2. Menggunakan sistem teror, terutama sebagai alat memaksa (menekan), atau memandang legal aksi-aksi yang menciptakan rasa takut dalam benak masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu, seperti terorisme revolusioner guna menumbangkan pemerintahan, ataupun terorisme pemerintahan yang menerapkan cara penindasan guna menjaga atau mempertahankan kekuasaan, atau terorisme kelompok bersenjata yang melakukan aksi teror guna mencapai tujuan-tujuan tertentu seperti memaksa pemerintah untuk menerima perubahan kebijakan politik atau mereaksi atas kebijakan pemerintah.
3. terorisme ialah peperangan bersifat teror yang dilakukan para intelektual revolusioner yang terpisah dari massa, seperti satu kelompok kecil borjuis yang pada tahap tertentu merupakan gerakan revolusioner yang muncul di Eropa.
K. Terorisme ialah sebuah praktik dan tindakan individual atau kelompok yang dengan jalan menciptakan ketakutan dan mengunakan kekerasan berupaya untuk mencapai tujuan-tujuan politik mereka. Demikian pula tindakan-tindakan kekerasan dan ilegal pemerintahan yang bertujuan melumpuhkan atau menekan lawan-lawannya, juga termaksud tindakan teroris yang biasa disebut dengan ‘Teroris Negara’[6].
L. Teroris ialah tindakan oknum-oknum pemerintahan atau non-pemerintahan yang menggunakan cara dan metode kekerasan guna meraih tujuan-tujuan politik mereka. Cara-cara yang biasa digunakan oleh para teroris ialah: membajak pesawat, menyandera, sabotase, pemboman, merampok bank, menculik dan mengeksekusi[7].
M. Terorisme ialah aksi yang terorganisir yang penuh dengan kekerasan yang biasa melakukan penyerangan secara tiba-tiba terhadap individu-individu, komunitas tertentu atau bahkan negara[8].
N. Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada Juli 1999 mendefinisikan terorisme yang berdasarkan definisi ini, terorisme mencakup segala tindakan kekerasan atau intimidas -terlepas dari maksud dan motivasi pelaku tidakan tersebut- dengan bertujuan untuk menjalankan rencana kriminal (makar) secara personal atau kelompok dengan cara menciptakan rasa takut, mengancam, merugikan atau membahayakan kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak-hak masyarakat, atau ancaman pengrusakan pada lingkungan dan hak milik umum atau pribadi. Dimana hal ini dilakukan gunamenguasai prasarana nasional dan internasional atau mengancam stabilitas, integritas teretorial, persatuan politis dan kedaulatan negara independen.
Dari beraagam definisi ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada kesepakatan diantara kalangan politisi, para ahli dan pemerintahan mengenai definisi terorisme. Seluruh definisi-definisi di atas dengan menggunakan ungkapan-ungkapan negatif berupaya untuk mensifati tindakan-tindakan kekerasan dan ancaman yang dilakukan kelompok-kelompok non-pererintah yang turut interfensi dalam permasalahan politik.
Sebagian orang dengan bersandar kepada definisi-definisi ini berupaya menyimpulkan unsur-unsur utama pengertian terorisme dalam poin-poin berikut:
A. Mengancam dengan menggunakan cara kekerasan secara ilegal. Jelas bahwa perjuangan bangsa tertindas yang bertujuan untuk membebaskan tanah air dan wilayah mereka yang terjajah tidak dapat dikatagorikan sebagai terorisme, karena sesuai hukum internasional perjuangan seperti ini adalah legal dan sah.
B. Bermaksud menciptakan rasa takut pada masyarakat atau pihak tertentu.
C. Bermaksud untuk mencapai tujuan-tujuan politik atau ideologi.
Sebagian lainnya menyimpulkan titik-titik persamaan antara definisi yang ada sebagai berikut:
A. Praktik yang teroganisir.
B. Penuh dengan kekerasan.
C. Melakukan penyerangan secara tidak terduga.
Sebagian lagi menyimpulkan bahwa ada dua titik persamaan antara definisi-definisi di atas:
A. Menggunakan cara kekerasan sebagai taktik dalam menciptakan rasa takut.
B. Menggunakan modus yang mengejutkan dan para teroris memiliki kesempatan untuk memilih waktu dan target penyerangan.
Perbedaan dalam pendefinisian istilah ‘terorisme’ terjadi dikarenakan banyak hal yang diantaranya ialah:
1. “One person’s terrorist is another person’s freedom fighter.” Ungkapan ini merupakan pribahasa yang terkenal yang diungkapkan guna menunjukkan akan samarnya pengertian teroris. Menurut ungkapan ini, dapat dimungkinkan seseorang berdasarkan pandangan sebagain orang ia dianggap sebagai teroris, akan tetapi menurut pandangan sebagian lainnya ia adalah seorang pejuang yang menghendaki kemerdekaan. Hal inilah yang menjadikan pendefinisian istilah terorisme hingga saat ini masih menjadi problem, dan PBB berancana untuk menggelar konferensi internasional dengan harapan di dalamnya negara-negara dunia dapat mencapai kesepakatan dalam mengartikan dan mendefinisikan terorisme.
2. Adanya pribadi-pribadi tertentu yang pada masa tertentu disebut-sebut sebagai seorang teroris, namun di masa lainnya ia digolongkan sebagai seorang negarawan dan politisi. Seperti halnya Manakhym Begin yang pada tahun 1977-1983 ia adalah perdana menteri Israel, padahal sebelumnya ia dikenal sebagai teroris karena memiliki ide untuk mengusir penjajahan Inggeris dari tanah Palestina.
3. Para sosiolog politik menyakini, dikarenakan terdapat perbedaan luas antara ideologi dan tujuan-tujuan politik, maka tidak mungkin untuk mencapai definisi yang disepakati secara global mengenai istilah teroris.
4. Terorisme tidak memiliki ragam dan wajah yang satu, dimana gerakan ini identik dengan bentuk yang baragam dimana kebanyakan masing-masing darinya tidak banyak memiliki persamaan kriteria. Mungkin saja kriteria tertentu sesuai dengan satu bentuk terorisme, namun tidak sesuai dengan bentuk lainnya. Saat ini selama 30 tahun belakangan ini terorisme berkembang pesat sehingga memiliki banyak ragam dan bentuk, dan betapa banyak model terorisme saat ini yang jauh berbeda dengan model terorisme masa lalu, bahkan dengan model terorisme lainnya yang ada saat ini sekalipun.
Adapun mengenai kaitan antara dua istilah ‘teror’ dan ‘terorisme’, diantara kedua istilah ini juga terdapat beberapa perbedaan yang sebagian darinya diakibatkan dari ketidakjelasan akan definisi ‘terorisme’. Sebagian orang menyakini bahwa tdak ada perbedaan antara dua istilah tersebut. Ketika mengartikan kedua istilah itu, mereka mengatakan, “Teror dan terorisme dalam dunia perpolitikan ditujukan kepada praktik pemerintah atau kelompok tertentu dimana untuk menjaga kekuasaan atau berperang dengan negara, mereka menempuh cara tertentu yang dapat menciptakan rasa takut.” meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kedua ini mempunyai arti yang berbeda.
Beberapa penulis berusaha untuk menjelaskan titik perbedaan antara istilah teror dan terorisme. Sebagian dari mereka menganggap aksi teror terjadi hanya dalam konteks historis, seperti yang terjadi di Rusia pada masa Stalin, sedangan terorisme adalah bentuk teror yang telah terorganisir. Sebagian lainnya menyakini bahwa teror adalah bentuk pemikiran, sedangkan terorisme adalah aksi atau tindakan sosial yang terorganisir. Sebagian besar memiliki pandangan bahwa teror bisa saja terjadi tanpa adanya terorisme, namun teror adalah unsur asli bagi terorisme.
Selainn itu, kata-kata ‘isme’ yang ditambahkan pada kata-kata ‘teror’ juga mengandung arti yang beragam. Isme terkadang mengungkapkan akan kriteria yang sistematis dalam satu hal tertentu dan terkadang menunjukkan akan bentuk ideologi, teori atau falsafah politis, dan terkadang pula menunjukkan pada taraf praktis yang merefleksikan sebuah tradisi, tindakan atau fenomena tertentu. Dalam pengartian dua istilah ini, juga terdapat perbedaan lainnya, dimana perbedaan telah ada sejak akhir abad 18, sejak itu beberapa kajian dalam berbagai format telah dilakukan terkait masalah ini.
Dari fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dan definisi ‘terorisme’ dalam tatanan internasional ialah, tindakan menciptakan rasa takut dan panik dengan cara yang ilegal dan tidak dapat diprediksi (tak terduga) dengan tujuan mempengaruhi kekuasaan politik. Tentunya definisi ini belum dapat menjadi barometer yang mampu memilah dan mengindetifikasi secara pasti aksi terorisme antara aksi terorganisir yang ada. Perkara inilah yang hingga saat ini menjadi problema dalam permasalahan terorisme.
Berdasarkan definisi ini elemen-elemen utama dalam aksi terorisme ialah:
5. Menciptakan rasa takut dan panik.
6. Tidak dapat diprediksi.
7. Ilegal.
8. Memiliki tujuan politik.
Terorisme Menurut Perspekif Islam
Setelah kita menyebutkan berbagai definisi mengenai terorisme dan menyimpulkan definisi terorisme menurut pandangan barat, saat ini kita akan membahas apakah dalam referensi-referensi Islam ditemukan definisi dan pengertian terorisme? Dan apakah Islam memiliki strategi tertentu guna memerangi terorisme?
Tidak diragukan lagi istilah ‘terorisme’ adalah istilah baru yang tidak terdapat pada masa kemunculan agama Islam. Kendati demikian, dalam ayat-ayat Al-Qur’an, riwayat-riwayat serta tulisan-tulisan para ulama terdapat istilah-istilah serta pembahasan-pembahasan yang mengemukakan teori-teori serta konsep-konsep tertentu yang berkaitan dengan masalah terorisme sebagai bagian permasalahan kehidupan manusia. Bahkan dalam teks-teks agama islam terdapat beberapa istilah (konsep) yang setara atau dekat pengertiannya dengan istilah terorisme. Untuk lebih jelasnya, kajian di bawah ini akan menyoroti secara ringkas istilah-istilah yang ada, dengan harapan ia akan menjadi motivasi bagi para peneliti untuk mengkajinya lebih mendalam.
A. Terorisme Dalam Al-Qur’an
Salah satu istilah yang terdapat dalam al-Qur’an yang berdasarkan dengannya musuh-musuh Islam menuding Islam sebagai agama terorisme ialah istilah ‘irhab’. Pada saat ini dalam dunia perpolitikan istilah ini diartikan dengan ‘terorisme’. Namun pada hakikatnya istilah ‘irhab’ dalam al-Qur’an memiliki makna lain yang sama sekali tidak tidak ada kaitannya dengan terorisme. Dengan demikian, bersandar kepada ayat-ayat al-Qur’an baik yang dilakukan oleh sebagian teroris guna justifikasi segala tindakan mereka, ataupun oleh musuh-musus Islam guna menuding Islam sebagai agama teroris, sama sekali tidak mendasar dan tidak dapat dibenarkan. Guna membuktikan hal ini, kita akan menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang mengandung istilah ini.
1. Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang Telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan Hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk) (Q.S. Al-Baqarah: 40).
Di akhir ayat ini disebutkan ‘farhabûn’ yang berartikan takutlah atau tunduklah kalian kepada-Ku.
2. Musa menjawab: "Lemparkanlah (lebih dahulu)!" Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (mena'jubkan). (Q.S. Al-A’raf: 116).
Dalam ayat ini istilah ‘irhab’ yang disebutkan dengan kalimat ‘Istarhabûhun’ beratikan menakut-nakuti mereka atau menjadikan mereka takut, dimana yang melakukannya ialah para penyihir.
3. Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya. (Q.S. Al-A’raf: 154)
Dalam ayat ini pun kata-kata ‘irhâb' yang disebutka dengan kalimat yurhibûn menunjukkan kepada arti takut, dengan makna bahwa mereka yang takut kepada Allah SWT dan akan mentaati segala ketetapan yang tercantum dalam luh-luh Taurat.
4. Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Q.S. Al-Anfal: 60)
Kata-kata ‘irhab’ dalam ayat ini yang disebutkan dengan kalimat turhibûna berartikan menakut-nakuti atau menggetarkan. Dengan artian bahwa dengan membangun kekuatan dan mempersiapkan perlangkapan perang, musuh-musuh akan merasa takut dan tidak akan mempunyai keberanian untuk menyerang.
5. Allah berfirman: "Janganlah kamu menyembah dua tuhan; Sesungguhnya dialah Tuhan yang Maha Esa, Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut". (Q.S. An-Nahl: 51)
Dalam ayat ini, kata-kata irhâb yang didebutkan denngan kalimat Farhabûn berartikan takut, dengan arti; takutlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian tunduk kepada selain-Ku!
6. Maka kami memperkenankan doanya, dan kami anugerahkan kepada nya Yahya dan kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami. (Q.S. Al-Anbiya’: 90)
Dalam ayat ini raghaban berartikan penuh harapan akan pahala serta rahmat Allah SWT dan rahaban berartikan kecemasan dan rasa takut akan siksa dan murka-Nya.
7. Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia keluar putih tidak bercacat bukan Karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dada)mu bila ketakutan, Maka yang demikian itu adalah dua mukjizat dari Tuhanmu (yang akan kamu hadapkan kepada Fir'aun dan pembesar-pembesarnya). Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang fasik". (Q.S. Al-Qashash: 32)
Dalam ayat ini pun kata-kata rahb berartikan ketakutan.
8. Kemudian kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul kami dan kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan kami berikan kepadanya Injil dan kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (Q.S. Hadiid: 27)
Asal kata-kata rahbaniah beral dari kata rahbah yang berartikan takut dan tuduk kepada Allah SWT, hanya saja istilah ini sekarang lazim dinisbahkan kepada praktek dan ibadah khusus para pendeta.
9. Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah. yang demikian itu Karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti. (Q.S. Al-Hasyr: 13)
Dalam ayat ini arti dari rahbatan ialah takut dan yang dimaksud oleh ayat bahwa rasa takut orang-orang munafik terhadap orang-orang mukmin melebihi rasa takut mereka kepada Allah SWT.
Dari beberapa ayat ini dapat simpulkan bahwa ayat-ayat yang mengandung kata-kata ‘irhab’ dengan berbagai musytaq-nya sama sekali tidak sepadan dengan istilah ‘irhab’ yang sekarang ini umum diartikan ‘terorisme’. Selain itu, juga terbukti bahwa seluruh musytak kata-kata ‘irhab’ yang terkandung dalam ayat-ayat Allah SWT tidak bermuatan arti negatif, berbeda halnya istilah ‘irhab’ yang umum digunakan saat ini yang mengadung arti negatif.
Yang patut ditekankan di sini ialah, bahwa permasalahan terorisme dalam Islam tiak ada kaitannya dengan istilah ‘irhab’, namun ia berkaitan dengan ayat-ayat yang menjunjung tinggi jiwa, harta dan harkat martabat manusia. Dimana ayat-ayat ini tidak membenarkan dan mengecam aksi-aksi terorisme yang membahayakan dan tidak mengabaikan jiwa, hak dan kehormatan seorang manusia. Islam sangat melarang dan sekali-kali tidak membenarkan seseorang untuk membunuh dan meregut nyawa orang lain, kecuali pada kondisi tertentu yang menuntut.
Sebagai contoh dari hal ini dalam sebuah ayat Allah SWT berfirman, Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). (Q.S. Al-An’an: 151)
Menurut ayat ini seluruh manusia apapun agama dan madzhabnya memiliki kemuliaan tersendiri, dimana syariat suci Islam memerintahkan untuk menjaganya. Islam hanya memperbolehkan untuk membunuh atau mengeksekusi mereka pada lingkup dan kondisi yang sangat terbatas dan dengan alasan yang benar dan rasional.
Selain itu, juga tidak dapat dilupakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat hukuman dan konsekwensi yang berat bagi mereka yang melakukan pengrusakan di muka bumi dan aksi teror yang mengorbankan jiwa, harta dan kehormatan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam sejak masa kemunculannya telah mengajak umat manusia untuk menjauhi tindakan kekerasan dan aksi teror, tentunya dengan mengamalkan dengan baik ajaran-ajaran agama Islam akan membentuk sebuah masyarakat yang tenteram dan aman serta terhindar dari kejahatan terorisme.
Guna merealisasikan hal ini dalam ayat lain al-Qur’an menganggap orang yang membunuh seseorang tanpa alasan yang benar, sama seperti ia telah membunuh seluruh seluruh manusia. Allah SWT berfirman, “Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itusungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (Q.S. Al-Maidah: 32).
Dari ayat ini pun dapat difahami bahwa hanya terdapat dua kelompok manusia yang layat untuk dibunuh atau di hukum mati, yang pertama ialah mereka yang telah melakukan pembunuhan dengan sengaja, dan yang kedua ialah mereka yang telah berbuat kerusakan di muka bumi. Jelaslah mengeksekusi orang-orang yang tidak melakukann dua pelanggaran besar ini, sama sekali tidak dapat dibenarkan dan pelakunya pun dianggap telah melakukan pembunuhan seluruh manusia.
Ayat ini dengan gamblang menunjukkan bahwa tindakan sebagian oknum yang melakukan berbagai aksi teroris dengan mengatasnamakan Islam dan al-Qur’an sama sekali tidak dibenarkan dan tidak memiliki legitimasi, dimana tindakan ini muncul akibat pemahaman yang menyimpang atas ayat-ayat al-Qur’an.
Terorisme Dalam riwayat
Sekalipun dalam ayat-ayat al-Qur’an tidak ditemukan istilah yang benar-benar sepadan dengan terorisme atau makna yang dekat dengan istilah ini, akan tetapi dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah maupun Syi’ah terdapat ibarat-ibarat yang dapat dijadikan pijakan untuk kita mengetahui pandangan Islam mengenai terorisme. Meskipun istilah-istilah yang terkandung dalam riwayat-riwayat memiliki pengertian lebih luas dbanding dengan istilah terorisme, akan tetapi dengan merujuk kepada riwayat-riwayat tersebut dengan mudah dapat difahami hukum islam mengenai terorisme. Bahkan berdasarkan riwayat-riwayat ini, kita dapat merumuskan definisi baru terorisme menurut perspektif Islam.
Sebagian istilah yang terkandung dalam riwayat-riwayat yang berkaitan dengan pemasalahan terorisme adalah:
1. Fatk (membunuh, menyerang atau menyergap): guna menjelaskan akan keterkaitan istilah ini dengan istilah terorisme, semula kita akan menyebutkan ucapan beberapa ahli bahasa dan kemudian kita pun akan membawakan beberapa riwayat yang berkaitan dengan permasalahan ini.
Jauhari dalam kamusnya As-Shahah berkenaan dengan istilah ini menyebutkan, “Fatk ialah seseorang mendatangi orang lain dan pada saat orang tersebut lupa secara tiba-tiba ia menyerangnya dan membunuhnya.”
Sebagaian lain ahli bahasa umumnya mengartikan fatk dengan makna di atas, namun sebagain penulis lainnya memberikan arti baru atas istilah ini dan mengatakan bahwa definis fatk ialah menyerang atau membunuh seseorang di saat ia lalai, baik dengan menggunakan sejata atau tidak, baik dengan alasan politik atau bukan.
Adapun riwayat-riwayat yang mengandung istilah fatk ialah sebagai berikut:
Dalam sebuah riwayat yang menjadi sandaran para fuqaha’ disebutkan bahwa seorang bernama Abu Shabah Kanani datang menghadap Imam Shadiq as dan mengatakan bahwa ia mempunyai seorang tetangga yang bernama Ja’d bin Abdullah yang sering kali menghina Imam Ali as, ia meminta kepada Imam agar diizinkan untuk mendatangi dan bertamu ke rumahnya dan disaat lengah, ia pun akan menyerang dan membunuhnya. Mendengar itu, Imam as melarang dan tidak mengizinkan Abu Shabah untuk melakukan hal demikian dan beliau bersabda, “Wahai Abu Shabah! Sesungguhnya perkerjaan tersebut adalah fatk dan Rasulullah saw telah melarangnya. Wahai Abu Shabah sesungguhnya Islam telah mengikat (melarang) perbuatan fatk. Biarkanlah ia! Karena cukup baginya selain kamu.”
Dalam riwayat lain disebutkan, saat Muslim bin Aqil memasuki kota Kufah, ia telah berhasil mengendalikan kota Kufah dan mempersiapkan kedatangan Imam Husain as. Akan tetapi dengan datangnya Ibnu Ziad (yang terlaknat) keadaan menjadi berbalik, kekuasaan dan kendali kota kufah berada di tangan Ibnu Ziad yang memimpin kota kufah dengan tangan besi.
Saat di kota Kufah, Ibnu Ziad bermaksud untuk menjenguk Syarik bin A’war salah seorang katua kabilah yang pada saat itu sedang sakit. Namun Syarik yang merupakan pecinta dan pengikut Imam Ali as telah menyembunyikan Muslim di dalam rumahnya agar apabila Ibnu Ziad datang, ia dapat menyerang dan membunuh Ibnu Ziad secara tiba-tiba. Akan tetapi Muslim menolak untuk melakukan hal demikian dan disaat diprotes oleh Syarik, ia menyebutkan dua alasan yang menyebabkan penolakannya, dimana salah satu alasannya ialah sabda Rasulullah saw yang berbunyi, “Sesungguhnya keimanan telah merantai (mengikat) fatk, seorang mukmin dilarang untuk melakukan fatk terhadap mukmin lainnya”.
Banyak hadis-hadis lain yang bernada serupa yang tercantum dalam kitab-kitab hadis dan diriwayatkan dengan jalur yang berbeda. Salah satunya ialah hadis yang berbunyi, “Di dalam Islam tidak ada tempat bagi ima’ dan juga fatk, sesungguhnya keimanan telah mengikat fatk”.
Sebagain riwayat lain telah menentukan hukuman bagi para pelaku teror, dimana hal ini menunjukkan akan penting dan mulianya jiwa dan harta manusia di sisi Allah SWT. Berdasarkan sebagian riwayat, apabila seseorang mendatangi seorang mukmin secara tiba-tiba guna membunuhnya atau merampas hartanya, maka darahnya menjadi halal bagi seorang mukmin tersebut. “Barang siapa yang secara tiba-tiba menyerang seorang mukmin guna mebunuhnya atau merampas hartanya, dalam keadaan demikian darahnya halal bagi orang mukmin itu”.
Sebagian ulama menyatakan bahwa hukum yang mengharamkan fatk secara mutlak kebanyakan dihasilkan dari riwayat-riwayat palsu, hanya riwayat yang bersumer dari Muslim bin ‘Agil lah yang termaksud katagori shahih, namun riwayat ini pun tidak dapat menunjukkan akan keharaman fatk secara mutlak. Kendati demikian, perlu diingat bahwa menetapkan kepalsuan riwayat-riwayat yang ada merupakan permasalahan yang rumit. Selain itu sebagain ulama ini pun tidak membawakan argumen yang menunjukkan kepalsuan riwayat-riwayat tersebut.
Dilihat secara lahir, hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa fatk yang diharamkan adalah fatk yang dilakukan terhadap seorang mukmin. Tidak ada satupun dari riwayat tersebut yang menyatakan keharaman melakukan fatk terhadap orang kafir, meskipun sebagain riwayat yang ada bersifat mutlak yang melarang tindakan fatk baik terhadap orang mukmin maupun kafir.
Patut disebutkan di sini bahwa bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa aksi teror telah digunakan oleh musuh-musuh Islam khususnya Yahudi sejak masa kemunculan agama Islam. Diriwayatkan bahwa suatu hari orang-orang Yahudi bertekat untuk membunuh Nabi saw dengan cara mengundang beliau dan saat beliau berada di majlis mereka, secara tiba-tiba mereka akan membunuh beliau. Akan tetapi Allah SWT telah mengabarkan makar yang direncanakan ini sehingga beliau pun tidak menghadiri undangan tersebut. Selain riwayat ini, banyak riwayat-riwayat lain yang menceritakan bahwa Rasulullah saw dan para imam suci as telah menghadapi gerakan terorisme, dan bahkan sebagian dari Imam-imam Syi’ah telah meneguk cawan syahadah dikarenakan tidakan keji terorisme.
2. Istilah lain yang berkaitan dengan permasalahan terorisme yang terdapat dalam riwayat-riwayat ialah istilah ‘ghilah’ atau ‘ightiyal’. Mengenai arti leksikal istilah ini, dalam kamus Lisanu al-Arab dan as-Shahah disebutkan, “Ghilah –dengan kasrah pada huruf Ghain- ialah perbuatan dimana seseorang telah memperdayai seorang lainnya dengan mengajaknya ke tempat tertentu dan sesampaiinya di tempat tersebut, orang itu pun akan membunuhnya. Dalam kamus lain juga disebutkan, “Ghilah ialah menyerang dan membunuh seseorang saat orang tersebut sedang lalai”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ghilah ialah perbuatan seseorang dimana dengan cara memperdaya sang korban, ia pun akan membawanya ke tempat yang sepi atau tersembunyi dan di tempat itulah orang itu akan membunuhnya.
Dari apa yang disebutkan di atas dapat diketahui titik perbedaan antara arti fatk dan ghilah. Sebagian ahli bahasa mengungkapkan secara jelas perbedaan arti antara dua istilah ini. Penulis kitab Gharib al-Hadist dalam mejelaskan perbedaann arti antara fatk dan ghilah menuliskan, “Ghilah ialah pembunuhan yang dilakukan seseorang dengan cara memperdaya dengan sesuatu sehingga ketika sang korban berada di tempat yang tersembunyi, ia pun akan diserang dan dibunuh. Adapun fatk ialah pembunuhan yang dilakukan seseorang dengan cara mendatangi sang korban dan dikala sedang lalai dan tidak mengetahui bahwa ia akan dibunuh, pada kesempatan tertentu ia pun akan segera dibunuh. Demikian pula apabila seseorang bersembunyi di satu tempat -baik pada siang maupun malam hari- dan ketika ia mendapatkan seorang yang ingin dicelakainnya, ia akan segera menyerang dan membunuhnya.”
Ibnu Atsir saat menjelaskan perbededaan arti antara dua istilah di atas ini menuliskan, “Fatk ialah tindakan seseorang yang dengan cara mendatangi sang koran sehingga pada saat ia lalai, orang tersebut akan segera menyerang dan membunuhnya. Adapun arti ghilah ialah seseorang dengan cara memperdaya sang korban dan di saat ia berada di tempat yang tersembunyi, orang itu pun akan membunuhnya”.
Di bawah ini kami akan sebutkan sebagian riwayat yang mengandung dua istilah di atas.
Dalam riwayat yang dinukil dari Imam Muhammad Jawad as disebutkan, “Hindarilah perbuatan fatk! Sesungguhnya Islam telah mengikat (melarang) tindakan tersebut. Aku khawatir apabila kamu melakukannya pembunuhan secara terbuka (terang-terangan) dan saat kamu dipertanyakan, kamu tidak dapat memberikan alasan yang tepat dan dapat diterima sehingga dengannya kamu dapat membela dirimu, dengan demikian darah seorang mukmin dari pengikut kami akan tertumpahkan lantaran tumpahnya darah seorang kafir. Maka jauhilah tindakan pembunuhan dengan cara tipu daya (teror)!”.
Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Shadiq as, apakah boleh ightiyal (meneror) seorang nashibi (yang memusuhi ahlul bayt as)? Imam as menjawab, “Jagalah amanat seseorang yang telah mempercayaimu dan yang meminta nasihat dari mu! Sekalipun terhadap orang yang telah membunuh al-Husain as”.
Riwayat ini menjelaskan dengan gamblang kepada kita akan terlarangnya tindakan teror sekalipun terhadap seorang nashibi.
Dalam bebrbagai riwayat khususnya yang tertera dalam kitab-kitab Syiah, kita banyak menemukan ungkapan yang menunjukkan bahwasansnya musuh-musuh Islam hendak menghabisi nyawa para Imam suci as dengan meneror. Sebagaimana yang disabdakan oleh imam Ali Ridha as, “Demi Allah! Sesungguhnya aku akan terbunuh dengan diracuni, pembunuhan yang dilakukan dengan ightiyal, aku mengetahui hal ini dengan perjanjian yang ada pada Rasulullah saw yang diberitakan oleh Jibrail as dari sisi Allah SWT”.
Dalam riwayat yang menyebutkan solusi guna menghindari pembunuhan yang dilakukan dengan tipu daya (teror) ini, juga menggunnakan istilah ightiyal. Sebagai contoh dalam riwayat yang ditukil dari Imam Jakfar Shadiq as disebutkan, “Sesungguhnya Islam mensyariatkan perdamaian (genjatan senjata) ialah guna menjaga jiwa serta nyawa manusia, karena apabila ada seorang fasik yang berkehendak untuk memperdaya dan memeror (an yaghtal) seseorang di tempat yang tersembunyi, maka (dikarenakan perdamainya yang telah terjalin) ia akan merasa takut sehingga ia akan mengurungkan niatnya”.
Dari sekumpulan riwayat ini dapat disimpulkan bahwa fatk dan ghilah atau ightiyal adalah istilah yang memiliki arti yang dekat dengan istilah terorisme. Selain itu, dari riwayat-riwayat yang ada juga dapat dibbuktikan bahwa Islam bukan hanya melarang atau mengharamkan tindakan tersebut, bahkan ia pun berupaya untuk memberikan strategi dan metode guna menghadapi tidakan keji ini, dengan harapan masyarakat islam akan terhindar dari kejahatan yang ditimbulkan darinya.
J. Pandangan Ulama Mengenai Terorisme
Sebagian ulama dan fuqaha mengatakan bahwa istilah Muharabah dan Fasad fi al-ardh merupakan dua istilah yang sepadan dengan istilah terorisme. Guna menguji dan mengetahui sejauh mana kebenaran dakwaan ini, cukup bagi kami untuk membawakan pengartian yang diberikan Shahib al-Jawahir, karena definisi-definisi yang diberikan para ulama terkait dua istilah ini, tidak terdapat pengbedaan yang mendasar.
Shahib al-Jawahir dalam mendefinisikan istilah muharib mengatakan, “Muharib ialah seseorang yang menghunuskan senjata kepada orang lain dengan maksud untuk menakut-nakutinya, baik tindakan ini dilakukan di dataran atau di lautan, baik pada siang hari maupun malam hari dan baik di dalam kota ataupun di wilayah lainnya”.
Dengan menyoroti definisi ini, sebagian penulis mengatakan, “terorisme ialah tindakan satu kelompok baik besifat individual, pemerintahan, partai, sosial atau organisasi yang berfokus pada gerakan bersenjata dengan tujuan menciptakan rasa takut dan mengancam stabilitas dan keamanan sosial. Tindakan ini dalam sistem Islam disebut dengan muharabah, adapun kami menyebutnya sebagai terorisme”.
Akan tetapi pada hakikatnya, apabila istilah Muharib dibandingkan dengan istilah terorisme, maka akan didapati bahwa istilah muharib memiliki pengerian yang lebih luas, sehingga setiap orang yang Muharib tidak dapat dikatagorikan sebagai teroris. Tentunya terorisme dengan definisi dan arti sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan di atas.
Perlu perhatikan di sini, apabila kita hendak mendefinisikan istilah terorisme dengan definisi yang baru yang mencakup berbagai sisi hukum-hukum islam tanpa merujuk kepada definisi-definisi yang ada, maka dengan mempertimbangkan istilah-istilah Islam seperti Muharabah, Fasad fi al-ardh, fatk dan ghilah, kita akan mencapai pada sebuah definisi yang walaupun berbeda dengan definisi yang diutarakan oleh para ilmuan barat, akan tetapi masing-masing dari definisi ini memiliki banyak titik persamaan.
Fatk dan ghilah merupakan salah satu dari istilah yang banyak dan berulang kali diutarakan oleh para fuqaha. Dimana di dalam banyak permasalahan, dua istilah ini sering kali didapatkan. Sebagai contoh dalam pembahasan “jaminan keamanan terhadap oran kafir”, sebagain fuqafa menegaskan bahwa meskipun dikarenakan sebab tertentu perjanjian keamanan atau perjanjian terhadap orang-orang kafir dzimmi dinyatakan gugur, akan tetapi tidak ada hak bagi seorang pun untuk mencelakai seorang kafir ahli kitab atau kafir harbi sekalipun, namun hendaknya mereka diungsikan ke wilayah yang aman, sehingga di wilayah tersebut tidak ada orang yang akan mencelakai atau membunuh mereka.
Selain itu pernyataan-pernyataan para fuqaha dalam permasalahan Mu’ahadah (perjanjian) dapat dijadikan rujukan bagi kajian terorisme. Dalam permasalahan ini disebutkan bahwa berdasarkan argumen-argumen al-Qur’an, hadis dan rasional tidak diperbolehkan bagi sebuah negara Islam untuk melanggar perjanjian yang telah ditandatanganinya. Apabila sabuah negara islam telah menandatangani perjanjian untuk memerangi terorisme, maka atas dasar hukum Islam negara tersebut haruslah komitmen dengan apa yang telah disepakatinya. Pada dasarnya perkara ini merupakan sebuah kejelasan, sehingga mereka yang non-muslim pun menyadari akan permasalahan ini.
Masalah “perjanjian” merupakan permasalahan yang luas dan pelik, sehingga tidak dapat diutarakan secara rinci dalam makalah yang singkat ini. Meski demikian dapat dikatakan bahwa merupakan sebuah kejelasan, perjanjian yang terjalin antar negara-negara yang ada dan antara negara-negara islam, khususnya guna memerangi gerakan teroris, maka kedua belah pihak haruslah konsisten dengan perjanjian yang telah disepakati dengan berupaya keras dalam memerangi gerakan itu.
Kesimpulan
Peristiwa 11 September telah dijadikan dalih dalih untuk mencuatkan kembali permasalahan teror dan terorisme hingga menjadi isu internasional, dan agama suci Islam menjadi terget sasaran media-media barat. Sejak saat itu, tuduhan terorisme diarahkan ke dunia Islam sehingga munculah rasa kecurigaan terhadap ajaran-ajaran suci Islam. Maka dari itu, mengkaji permasalahan ini dalam dunia Islam merupakan hal yang sangat penting sehingga pasca terjadinya pristiwa tersebut hingga saat ini, banyak makalah-makalah maupun buku-buku yang disajikan terkait isu ini. Tentunya guna mengkaji secara mendalam akar permasalahan ini, sebelum sesuatunya haruslah kita ketahui definisi dan pengertian dari terorisme sehingga esensi keberadaannya dapat kita kenal dengan baik. Namun dikarenakan berbagai faktor, para ilmuan dari berbagai negara hingga saat ini belum mencapai kesepakan dalam mendefinisikan istilah terorisme, bahkan PBB pun menghadapai problema yang serupa.
Untuk sekian kali telah diupayakan dalam berbagai perundingan guna mencapai kesepakatan dalam mendefinisikan secara global istilah terorisme, dengan harapan istilah ini dapat diterima dan menjadi pijakan bagi negara-negara anggota. Namun upaya ini acap kali gagal, dikarenakan di satu sisi sebagian negara-negara arogan hendak mengkategorikan gerakan-gerakan perjuangan untuk kebebasan sebagai gerakan-gerakan teroris, dan di sisi lain sebagian negara lain menyatakan dukungannya atas gerakan-gerakan semacam ini, bahkan sebagian negara lainnya mengiinkan negara-negara anggota untuk turut mendukung dan membantu pergerakan-pergerakan tersebut.
Kendati demikian sebagian ilmuan dan politisi dari maca negara telah berupaya untuk mendefinisikan terorisme sehingga sedikit banyaknya ada kejelasaan bagi masyarakat dalam menyikapi gerakan teroris. Akan tetapi hal ini pun belum menyelesaikan problem secara tuntas, karena definisi-definisi yang dirumuskan para ahli ini, merupakan buah dari cara pandang dan kerangka berfikir mereka, oleh karenanya sebagian kelompok dapat menerima definisi tersebut, namun sebagain kelompok lain menolaknya. Sangat dimungkinkan seseorang berdasarkan salah satu definisi yang ada dapat dikatagorikan sebagai teroris, akan tetapi berdasarkan definisi lainnya ia dapat disebut sebagai seorang pejuang yang telah mengorbankan jiwa dan raganya guna membebaskan bangsa dan negaranya dari kezaliman atau penjajahan.
Poin yang patut diperhatikan di sini ialah, meskipun istilah terorisme memiliki pengertian dan definisi yang beragam, namun diantara definisi yang ada kita dapat menemukan titik-titik persamaan, sehingga paling tidak dapat membantu kita untuk mengenal esensi dari terorisme. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa gerakan terorisme minimal memiliki kriteria-kriteria seperti, bertujuan untuk menciptakan kecemasan di masyarakat, beraksi secara tiba-tiba dan tidak sulit untuk diprediksikan, menggunakan cara-cara yang ilegal dan bermotif politik.
Setelah mengkaji definisi terorisme, makalah ini pun menyoroti masalah terorisme menurut padangan Islam. Dimana berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis dan pernyataan-pernyataan fuqaha dapat disimpulkan bahwa meskipun dalam teks-teks agama Islam tidak disebutkan kata atau istilah yang benar-benar sepadan dengan istilah terorisme, akan tetapi dari naskah-naskah yang ada kita mendapatkan bahwa sejak awal kemunculannya, Islam telah melarang setiap orang muslim untuk melakukan aksi teror, bahkan tidak cukup hanya itu, Islam pun telah memberikan solisi dan strategi guna menghadapi dan memerangi gerakan terorisme.
Dalam beberapa ayat al-Qur’an terdapat istilah-istilah seperti istilah irhab, dimana sebagian orang menganggap istilah ini sepadan dengan istilah terorisme yang ramai dibicarakan saat ini. Akan tetapi dengan merujuk ayat-ayat lainnya yang mengandung kata-kata atau istilah ini, dapat dibuktikan bahwa arti dari kata atau istilah ini sangat berbeda dengan arti terorisme, dimana untuk mengetahui makna dari istilah-istilah ini, cukup kita merujuk arti leksikal dari kata-kata tersebut. Atas dasar ini, justifikasi yang dilakukan sebagian yang mencari pembenaran aksi terorisme dengan dalih ayat-ayat al-Qur’an, sama sekali tidak dapat dibenarkan. Selain itu, musuh-musuh Islam pun tidak dapat menuding Islam sebagai agama teroris dengan dalih adanya ayat-ayat yang mengandung kata-kata di atas.
Dengan mempelajari sebagian ayat-ayat al-Qur’an kita dapat mengetahui bahwa menurut pandangan Islam, darah, harta dan kehormatan seseorang memiliki kohormatan dan kemuliaan yang tinggi. Dengan pandangan ini, Islam sama sekali tidak membenarkan aksi terorisme meskipun dengan alasan untuk membela agama. Menurut pandagan Islam, kemuliaan harta, jiwa dan kehormatan seseorang hanya akan gugur pada kondisi-kondisi tertentu yang telah digariskan dalam syariat Islam, dan tentunya dengan menjaga sisi-sisi yang ada lainnya. Selain itu pun Islam memberikan kebebasan kepada orang-orang kafir yang mengakui legalitas agama Islam.
Terdapatnya penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dan juga hadis-hadis akan trategi atau solusi dalam menghadapi orang-orang yang melakukan pengrusakan di muka bumi, menandakan akan perhatian Islam akan keamanan dan ketenteraman masyarakat, dalam rangka menjaga jiwa dan harta seorang warga. Kita pun dapat menyaksikan bahwa dalam Islam terdapat hukuman dan sangsi yang berat bagi mereka yang melakukan aksi teror, sudah barang tentu hal ini dapat berpengaruh dalam meminimalisir operasi-operasi teror yang ada.
Dalam berbagai riwayat pun terdapat istilah-istilah yang memiliki makna yang berdekatan dengan pengertian terorisme. istilah tersebut diantaranya adalah fatk, ghilah dan muharabah, diimana secara tegas islam melarang tindakan-tindakan tersebut. Dikatakan bahwa arti dati fatk ialah tindakan seseorang yang menyerang orang lain dan membunuhnya saat ia sedang lalai. Adapun arti ghilah ialah pekerjaan seseorang yang dengan memperdaya, ia akan membawa sang korban ke tempat yang tersembunyi dan disanalah ia akan membunuhnya.
Selain ayat-ayat dan hadis-hadis, juga terdapat pernyataan-pernyataan fuqafa yang memiliki pengertian yang dekat dengan istilah terorisme, seperti istilah muharabah dan fasad fi al-ardh, dimana sebagian ulama mengatakan bahwa dua istilah ini memiliki arti yang sepadan dengan istilah terorisme, namun pada hakikatnya dua istilah ini memiliki makna yang lebih umum dibanding dengan istilah terorisme.
Fatk dan ghilah merupakan istilah yang sering kali ditemukan dalam ucapan-ucapan para fuqaha. Dengan ini, akan lebih baik jika dua istilah ini dikaji lebih mendalam lagi, sehingga kita dapat lebih mnegenal pandangan Islam mengenai terorisme.
Ringkasnya, agama suci Islam mengandung ajaran-ajaran yang bukan hanya melarang dan menyatakan keilegalan segala bentuk tindakan terorisme, bahkan melihat solusi yang ditawarkan guna mengahdapi gerakan terorisme, ajaran-ajaran tersebut dapat menjadi acuan bagi undang-undang internasional dalam rangka memberantas akar terorisme dari dunia ini. Oleh karenanya, negara-negara Islam hendaknya menjadikan OKI sebagai wadah untuk mengkaji dan merumuskan undang-undang tersebut, sehingga ketika tercapai kesepakatan, negara-negara anggota dengan serempak dapat menerapkan undang-undang tersebut. dapat dipastikan di masa pendatang dunia internasionalpun akan merujuk kepada undang-undang ini sehingga pada akhirnya ajaran-ajaran agama Islam dapat dimanfaatkan masyarakat internasional.
Masukan dan Usulan
Mengacu dari keyakinan bahwa keberhasilan dalam memerangi terorisme akan tercapai dengan memperhatikan hak-hak Ilahi di sisi hak-hak manusiawi, dimana setiap pengertian akan terorisme tidak akan sempurna jika tidak mempertimbangkan dua sisi ini. Makalah ini berupaya untuk membuktikan bahwa agama Islam memiliki kepedulian yang tinggi seputar masalah terorisme. Dan merurut pandangan Islam, definisi yang diutarkan para ilmuan barat mengenai istilah terorisme merupakan batas minimal sesuatu yang harus ditekankan dalam sebuah masyarakat, namun ia tidak dapat menjadi penjamin bagi keamanan dunia. Maka dari itu, hendaknya para ilmuan muslim dengan memperhatikan hak-hak Ilahi atas manusia dan hak-hak manusia terhadap sesama, hendaknya merumuskan definisi baru terkait masalah ini. Dan untuk mencapai tujuan ini, hedaknya mereka menjauhi pola pemikiran barat dalam pendefinisian terorisme, sehingga mereka dapat mengidentifikasi hakikat terorisme sesuai perspektif Islam. Karena tanpa demikian, kita tidak akan ada definisi terorisme yang Islami menurut pandangan islam yang pada akhirnya kita pun tidak akan mencapai solusi yang matang guna memerangi gerakan terorisme.
Wakil-wakil negara Islam dalam OKI hendaknya secara konsisten memperhatikan permasalahan terorisme ini dan dengan mengemukakan pandangan politik Islam dalam masalah ini, mereka dapat memberikan solusi kepada masyarakat internasional sehingga mereka dapat terbebas dari fenomena yang memilukan ini. Dengan jalan ini, mereka dapat menarik opini negara-negara lainya ke arah konsep mereka rumuskan, sehingga masing-masing akan memunyai satu persepsi dan konsep dalam menghadapi gerakan teroris. Tanpa hal ini, dunia Islam akan selalu mejadi target serangan musuh-musuh dan akan senantiasa tertuduh sebagai agama teroris.
Perserikatan Bangsa-Bangsa pun hanya akan mencapai definisi global yang disepakati negara-negara anggota, jika perserikatan ini juga mempertimbangkan ajaran-ajaran agama serta hak-ahk Ilahi di sisi hak-hak manusia. Tanpa hal ini, segala upaya yang dikerahkan guna berperang melawan terorisme, tidak akan membuahkan hasil.


[1] Jack C. Plano & Roy Olton, The International Relations Dictionary (USA: Longman, 1988
[2] Fashle Nomeh Misbah, Teheran 1392 H.Q.
[3] Jakfari Langgarudi, Terminolozi-e Huquq, hlm. 150.
[4] Ghulam Reza Babai, Farhang Rawobit Baena Milaly, hlm. 55.
[5] Fashle Nomeh Misbah, Ibid
[6] Hasan Ali Zadeh, Farhang-e Khos Ulum-e Siyosi, hlm. 271.
[7] Jack Sie, Farhang Rawobit Baenal Milaly, hlm. 243.
[8] Ilham Amin Zadeh, Fashle Nomeh Rahburd, Teheran 1380 H.Q.