Dewasa
ini, terorisme merupakan salah satu topik pembahasan terpenting yang
kerap menjadi obyek pembicaraan kalangan politisi dan para ahli.
Dikarenakan pentingnya permasalahan ini, banyak tulisan-tulisan dan
ide-ide yang dituangkan dengan berbagai macam cara guna mengkaji masalah
ini.
Tiidak
dapat diragukan, pasca peristiwa 11 September di dunia barat terjadi
gelombang serangan terhadap Islam, gelombang serangan ini sedemikian
besar sehingga tidak dapat tersembunyi dari siapa pun. Dengan dalih
memerangai teroris, ajaran-ajaran luhur agama Islam luput menjadi obyek
sasaran penguasa-penguasa barat, dan kaum muslimin diperkenalkan sebagai
wajah-wajah terroris. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan dana besar
dan kebijakan apapun guna menjaga kepentingan pemerintahan dan rezim
mereka. Mereka lupa bahwa sejak semula keberadaannya, Islam telah
mencanangkan perang melawan terorisme sebagai salah satu agendanya, dan
di masa dimana kekerasan menjadi ideologi masyarakat kala itu, Islam
datang seraya menjunjung tinggi jiwa, kepemilikan dan harkat martabat
manusia.
Dari
sisi lain, saat ini masyarakat internasional mengalami krisis dalam
pendefinisian istilah terorisme, bahkan berbagai perundingan yang
digelar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) guna merumuskan definisi global
yang disepakati negara-negara dunia, acap kali mengalami kegagalan.
Kondisi ini telah dimanfaatkan oleh negara-negara yang haus kekuasaan,
dimana dengan mengartikan terorisme sesuai pandangan mereka dan demi
menjaga kepentingan nasional negara mereka, mereka segera menyerang
musuh-musuh dengan mengatasnamakan perang terhadap terorisme.
Oleh
karenanya, perlu bagi kami untuk menjelaskan pandangan Islam mengenai
terorisme. Dengan acuan ini, semula kami akan mengkaji arti leksikal
dari kata terorisme dan membahas beberapa permasalahan seputar hal ini.
Tentunya dikarenakan kata dan istilah ini berasal dari literatur barat,
sudah sepatutunya kami pun mengkaji serta menjelaskan definisi dan
pengertian teroris menurut pandangan barat. Kemudian kita pun akan
mengkaji pandangan Islam terkait masalah ini. Pada akhirnya, dengan
perpijak pada titik-titik persamaan dalam definisi dari istilah yang
ada, kami akan menjelaskan poin-poin utama pengertian terorisme yang
terdapat dalam ajaran-ajaran agama Islam.
Intinya,
studi ini mencoba untuk membuktikan bahwa agama Islam bukan hanya agama
anti teror dan terorisme, bahkan ia adalah agama yang memiliki strategi
yang matang dalam memerangi dan menghadapai aksi terorisme. selain itu
artikel ini pun berupaya untuk menyampaikan pandangan Islam mengenai
terorisme dengan menyoroti persamaan-persamaan yang ada dalam
pendefinisiannya.
Definisi Terorisme
1. Arti leksikal terorisme
Terorisme
merupakan kata yang berasal dari literatur barat, oleh karenanya dalam
kamus-kamus kuno dunia Islam, kita tidak menemukan kata-kata semacam
ini. Namun sebagian ahli bahasa kontemporer mencantumkan istilah ini
dalam kamus bahasanya, salah satunya adalah Dehkhoda yang dalam kamusnya
saat mengartikan kata ‘teror’ ia menulis, “Teror berasal dari kata
“Terreur” yang berartikan pembunuhan bermotif politik dengan menggunakan
senjata, dimana hal ini telah umum digunakan dalam bahasa Persia, dan
ahli bahasa Arab kontemporer mengunakan kata-kata ‘ihraq’ (pertumpahan
darah) sebagai ganti dari kata teror. Kata-kata ini (Teror) dalam
bahasa Perancis berartikan kepanikan atau ketakutan, dan teror menjadi
prinsip pemerintah revolusioner yang berkuasa di Perancis setelah
jatuhnya kekuasaan Gironde (sejak 31 Mei 1973 hingga 1974) yang banyak
menjatuhkan eksekusi dengan alasan politik.”
Dalam
kamus ini disebutkan, definisi terorisme ialah prinsip pemerintahan
yang didasari intimidasi dan tekanan, dimana hal ini merupakan prinsip
pemerintahan yang berkuasa di Perancis pada tahun 1793-1974. Dalam
bahasa Parsia kata-kata ini ditujukan terhadap sebuah prinsip yang
didalamnya terdapat dukungan atas pembunuhan dan teror yang bersifat
politik.
Sebagaimana
yang kita saksikan, dalam kamus-kamus bahasa sekalipun, arti
terminologi terorisme juga menjadi bahan perhatian. Dan untuk mengetahui
lebih baik arti akan makna istilah ini, tidak ada jalan lain kecuali
kita mengkaji arti terminologikal kata-kata tersebut. Tentunya dalam
kamus-kamus bahasa dapat ditemukan kata-kata ‘teror’, akan tetapi arti
teror tidaklah sama dengan arti terorisme, diantara dua dan istilah ini
terdapat perbendaan-perbedaan arti yang akan kami sebutkan pada bagian
mendatang.
2. Arti terminologikal Terorisme
Terdapat
banyak perbedaan antara para ahli bahasa dalam pendefinisian
‘terorisme’, perbedaan ini sedemikian kental sehingga seakan-akan
masing-masing dari mereka sedang membicarakan satu hakikat yang berbeda
dan tidak saling berkaitan. Sebagian penulis yang mengkaji masalah ini
biasanya menyebutkan beberapa definisi mengenai terorisme, namun saat
menyimpulkan definisi-definisi tersebut mereka pun menghadapi kesulitan
dan pada akhirnya mereka mengemukakan definisi lain sesuai pandangan
mereka.
Atas
dasar ini, kami akan membawakan sebagian dari definisi yang ada dan
menyoroti poin-poin khusus yang terkandung dalam masing-masing definisi
tersebut sehingga dengan demikian kita dapat menemukan titik persamaan
dan perbedaan di dalamnya.
A.
Sebagian ahli berpendapat bahwa terorisme bukanlah sebuah ideologi,
akan tetapi ia adalah satu aktifitas dan tindakan. Dengan artian,
terorisme adalah sebuah praktik dimana berbagai komunitas dari beragam
kelompok dan organisasi -baik secara berkesinanbungan maupun sementara-
terlibat di dalamnya. Terkadang aksi ini terjadi untuk sementara waktu
dan terkadang berkelanjutan dan dengan model dan modus yang
berbeda-beda. Berdasarkan definisi ini, terorisme adalah tindakan
kekerasan yang berbau politik[1].
B.
Dalam kamus The International Relations Dictionary disebutkan,
Terorisme adalah kegiatan (aksi) aktor pemerintah maupun non-pemerintah
yang mencoba menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan politik
mereka.
C. Berdasarkan definisi yang disebutkan dalam kamus Mu’jam Al-Washit, teroris ialah orang-orang yang menempuh jalan kekerasan guna meraih tujuan politik.
D.
Dalam A Dictionary of Modern Politics disebutkan, Terorisme ialah
mengunakan politik kekerasan sebagai alat atau sarana untuk menekan
pemerintah atau masyarakat agar menerima perubahan politik atau sosial
yang mendasar.
E.
Dictionary of Political Science menyebutkan dua definisi terorisme.
Menurut definisi pertama, terorisme ialah satu fenomena yang di dalamnya
terkandung kegiatan yang ekstrim dan penuh kekerasan, seperti
pembunuhan dengan sengaja, memborbardir, atau melempar seseorang dari
atas gedung, yang dilakukan secara individual maupun berkelompok dengan
klaim bahwa aksi-aksi tersebut bertujuan guna untuk perbaikan kondisi
politik. Adapun menurut definisi kedua, terorisme ialah usaha dalam
mencapai tujuan-tujuan politik dengan jalan kekerasan dan intimidasi.
F.
Noam Chomsky saat mendefinisikan terorisme’ menuliskan, “Terorisme
ialah penggunaan cara kekerasan yang ditargetkan kepada warga sipil
dalam upaya guna mencapai tujuan politik, agama atau semacamnya[2].”
G.
Sebagian ahli yang kanjian mereka dalam lingkup hukum nasional
mendefinisikan terorisme dengan demikian; Terorisme ialah
tindakan-tindakan kejahatan (makar) anti negara yang bertujuan
menciptakan rasa takut pada masyarakat atau kelompok tertentu atau
bahkan seluruh warga negara[3].
H.
Menurut pandangan ahli lainnya, praktik terorisme ialah membunuh,
mengancam, menciptakan rasa takut dan panik dalam masyarakat guna
mencapai tujuan politik atau bermaksud menggulingkan maupun mengambil
alih kekuasaan sebuah pemerintahan ataupun menyerahkannya kepada
kelompok lain yang diinginkan[4].
I.
Dalam definisi lainnya disebutkan, Terorisme ialah keyakinan akan
ilegalnya mengunakan jalan-jalan kekerasan secara tidak sah dengan
tujuan menciptakan rasa takut guna mencapai tujuan politik atau agama[5].
J. Ali Agha Bakhsyi dalam Farhang-e Ulum-e Siyosi menyebutkan tiga definisi dan kriteria dari terorisme:
1.
sebuah sistem pemerintahan teror dan keyakinan akan keharusan melakukan
pembunuhan dan menciptakan ketakutan dalam masyarakat, atau bentuk
pemikiran yang menghalalkan segala bentuk tindakan untuk mencapai tujuan
politik.
2.
Menggunakan sistem teror, terutama sebagai alat memaksa (menekan), atau
memandang legal aksi-aksi yang menciptakan rasa takut dalam benak
masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu, seperti terorisme
revolusioner guna menumbangkan pemerintahan, ataupun terorisme
pemerintahan yang menerapkan cara penindasan guna menjaga atau
mempertahankan kekuasaan, atau terorisme kelompok bersenjata yang
melakukan aksi teror guna mencapai tujuan-tujuan tertentu seperti
memaksa pemerintah untuk menerima perubahan kebijakan politik atau
mereaksi atas kebijakan pemerintah.
3.
terorisme ialah peperangan bersifat teror yang dilakukan para
intelektual revolusioner yang terpisah dari massa, seperti satu kelompok
kecil borjuis yang pada tahap tertentu merupakan gerakan revolusioner
yang muncul di Eropa.
K.
Terorisme ialah sebuah praktik dan tindakan individual atau kelompok
yang dengan jalan menciptakan ketakutan dan mengunakan kekerasan
berupaya untuk mencapai tujuan-tujuan politik mereka. Demikian pula
tindakan-tindakan kekerasan dan ilegal pemerintahan yang bertujuan
melumpuhkan atau menekan lawan-lawannya, juga termaksud tindakan teroris
yang biasa disebut dengan ‘Teroris Negara’[6].
L.
Teroris ialah tindakan oknum-oknum pemerintahan atau non-pemerintahan
yang menggunakan cara dan metode kekerasan guna meraih tujuan-tujuan
politik mereka. Cara-cara yang biasa digunakan oleh para teroris ialah:
membajak pesawat, menyandera, sabotase, pemboman, merampok bank,
menculik dan mengeksekusi[7].
M.
Terorisme ialah aksi yang terorganisir yang penuh dengan kekerasan yang
biasa melakukan penyerangan secara tiba-tiba terhadap
individu-individu, komunitas tertentu atau bahkan negara[8].
N.
Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada Juli 1999 mendefinisikan
terorisme yang berdasarkan definisi ini, terorisme mencakup segala
tindakan kekerasan atau intimidas -terlepas dari maksud dan motivasi
pelaku tidakan tersebut- dengan bertujuan untuk menjalankan rencana
kriminal (makar) secara personal atau kelompok dengan cara menciptakan
rasa takut, mengancam, merugikan atau membahayakan kehidupan,
kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak-hak masyarakat, atau ancaman
pengrusakan pada lingkungan dan hak milik umum atau pribadi. Dimana hal
ini dilakukan gunamenguasai prasarana nasional dan internasional atau
mengancam stabilitas, integritas teretorial, persatuan politis dan
kedaulatan negara independen.
Dari
beraagam definisi ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada kesepakatan
diantara kalangan politisi, para ahli dan pemerintahan mengenai definisi
terorisme. Seluruh definisi-definisi di atas dengan menggunakan
ungkapan-ungkapan negatif berupaya untuk mensifati tindakan-tindakan
kekerasan dan ancaman yang dilakukan kelompok-kelompok non-pererintah
yang turut interfensi dalam permasalahan politik.
Sebagian
orang dengan bersandar kepada definisi-definisi ini berupaya
menyimpulkan unsur-unsur utama pengertian terorisme dalam poin-poin
berikut:
A.
Mengancam dengan menggunakan cara kekerasan secara ilegal. Jelas bahwa
perjuangan bangsa tertindas yang bertujuan untuk membebaskan tanah air
dan wilayah mereka yang terjajah tidak dapat dikatagorikan sebagai
terorisme, karena sesuai hukum internasional perjuangan seperti ini
adalah legal dan sah.
B. Bermaksud menciptakan rasa takut pada masyarakat atau pihak tertentu.
C. Bermaksud untuk mencapai tujuan-tujuan politik atau ideologi.
Sebagian lainnya menyimpulkan titik-titik persamaan antara definisi yang ada sebagai berikut:
A. Praktik yang teroganisir.
B. Penuh dengan kekerasan.
C. Melakukan penyerangan secara tidak terduga.
Sebagian lagi menyimpulkan bahwa ada dua titik persamaan antara definisi-definisi di atas:
A. Menggunakan cara kekerasan sebagai taktik dalam menciptakan rasa takut.
B. Menggunakan modus yang mengejutkan dan para teroris memiliki kesempatan untuk memilih waktu dan target penyerangan.
Perbedaan dalam pendefinisian istilah ‘terorisme’ terjadi dikarenakan banyak hal yang diantaranya ialah:
1.
“One person’s terrorist is another person’s freedom fighter.” Ungkapan
ini merupakan pribahasa yang terkenal yang diungkapkan guna menunjukkan
akan samarnya pengertian teroris. Menurut ungkapan ini, dapat
dimungkinkan seseorang berdasarkan pandangan sebagain orang ia dianggap
sebagai teroris, akan tetapi menurut pandangan sebagian lainnya ia
adalah seorang pejuang yang menghendaki kemerdekaan. Hal inilah yang
menjadikan pendefinisian istilah terorisme hingga saat ini masih menjadi
problem, dan PBB berancana untuk menggelar konferensi internasional
dengan harapan di dalamnya negara-negara dunia dapat mencapai
kesepakatan dalam mengartikan dan mendefinisikan terorisme.
2.
Adanya pribadi-pribadi tertentu yang pada masa tertentu disebut-sebut
sebagai seorang teroris, namun di masa lainnya ia digolongkan sebagai
seorang negarawan dan politisi. Seperti halnya Manakhym Begin yang pada
tahun 1977-1983 ia adalah perdana menteri Israel, padahal sebelumnya ia
dikenal sebagai teroris karena memiliki ide untuk mengusir penjajahan
Inggeris dari tanah Palestina.
3.
Para sosiolog politik menyakini, dikarenakan terdapat perbedaan luas
antara ideologi dan tujuan-tujuan politik, maka tidak mungkin untuk
mencapai definisi yang disepakati secara global mengenai istilah
teroris.
4.
Terorisme tidak memiliki ragam dan wajah yang satu, dimana gerakan ini
identik dengan bentuk yang baragam dimana kebanyakan masing-masing
darinya tidak banyak memiliki persamaan kriteria. Mungkin saja kriteria
tertentu sesuai dengan satu bentuk terorisme, namun tidak sesuai dengan
bentuk lainnya. Saat ini selama 30 tahun belakangan ini terorisme
berkembang pesat sehingga memiliki banyak ragam dan bentuk, dan betapa
banyak model terorisme saat ini yang jauh berbeda dengan model terorisme
masa lalu, bahkan dengan model terorisme lainnya yang ada saat ini
sekalipun.
Adapun
mengenai kaitan antara dua istilah ‘teror’ dan ‘terorisme’, diantara
kedua istilah ini juga terdapat beberapa perbedaan yang sebagian darinya
diakibatkan dari ketidakjelasan akan definisi ‘terorisme’. Sebagian
orang menyakini bahwa tdak ada perbedaan antara dua istilah tersebut.
Ketika mengartikan kedua istilah itu, mereka mengatakan, “Teror dan
terorisme dalam dunia perpolitikan ditujukan kepada praktik pemerintah
atau kelompok tertentu dimana untuk menjaga kekuasaan atau berperang
dengan negara, mereka menempuh cara tertentu yang dapat menciptakan rasa
takut.” meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kedua ini
mempunyai arti yang berbeda.
Beberapa
penulis berusaha untuk menjelaskan titik perbedaan antara istilah teror
dan terorisme. Sebagian dari mereka menganggap aksi teror terjadi hanya
dalam konteks historis, seperti yang terjadi di Rusia pada masa Stalin,
sedangan terorisme adalah bentuk teror yang telah terorganisir.
Sebagian lainnya menyakini bahwa teror adalah bentuk pemikiran,
sedangkan terorisme adalah aksi atau tindakan sosial yang terorganisir.
Sebagian besar memiliki pandangan bahwa teror bisa saja terjadi tanpa
adanya terorisme, namun teror adalah unsur asli bagi terorisme.
Selainn
itu, kata-kata ‘isme’ yang ditambahkan pada kata-kata ‘teror’ juga
mengandung arti yang beragam. Isme terkadang mengungkapkan akan kriteria
yang sistematis dalam satu hal tertentu dan terkadang menunjukkan akan
bentuk ideologi, teori atau falsafah politis, dan terkadang pula
menunjukkan pada taraf praktis yang merefleksikan sebuah tradisi,
tindakan atau fenomena tertentu. Dalam pengartian dua istilah ini, juga
terdapat perbedaan lainnya, dimana perbedaan telah ada sejak akhir abad
18, sejak itu beberapa kajian dalam berbagai format telah dilakukan
terkait masalah ini.
Dari
fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dan definisi
‘terorisme’ dalam tatanan internasional ialah, tindakan menciptakan rasa
takut dan panik dengan cara yang ilegal dan tidak dapat diprediksi (tak
terduga) dengan tujuan mempengaruhi kekuasaan politik. Tentunya
definisi ini belum dapat menjadi barometer yang mampu memilah dan
mengindetifikasi secara pasti aksi terorisme antara aksi terorganisir
yang ada. Perkara inilah yang hingga saat ini menjadi problema dalam
permasalahan terorisme.
Berdasarkan definisi ini elemen-elemen utama dalam aksi terorisme ialah:
5. Menciptakan rasa takut dan panik.
6. Tidak dapat diprediksi.
7. Ilegal.
8. Memiliki tujuan politik.
Terorisme Menurut Perspekif Islam
Setelah
kita menyebutkan berbagai definisi mengenai terorisme dan menyimpulkan
definisi terorisme menurut pandangan barat, saat ini kita akan membahas
apakah dalam referensi-referensi Islam ditemukan definisi dan pengertian
terorisme? Dan apakah Islam memiliki strategi tertentu guna memerangi
terorisme?
Tidak
diragukan lagi istilah ‘terorisme’ adalah istilah baru yang tidak
terdapat pada masa kemunculan agama Islam. Kendati demikian, dalam
ayat-ayat Al-Qur’an, riwayat-riwayat serta tulisan-tulisan para ulama
terdapat istilah-istilah serta pembahasan-pembahasan yang mengemukakan
teori-teori serta konsep-konsep tertentu yang berkaitan dengan masalah
terorisme sebagai bagian permasalahan kehidupan manusia. Bahkan dalam
teks-teks agama islam terdapat beberapa istilah (konsep) yang setara
atau dekat pengertiannya dengan istilah terorisme. Untuk lebih jelasnya,
kajian di bawah ini akan menyoroti secara ringkas istilah-istilah yang
ada, dengan harapan ia akan menjadi motivasi bagi para peneliti untuk
mengkajinya lebih mendalam.
A. Terorisme Dalam Al-Qur’an
Salah
satu istilah yang terdapat dalam al-Qur’an yang berdasarkan dengannya
musuh-musuh Islam menuding Islam sebagai agama terorisme ialah istilah ‘irhab’. Pada saat ini dalam dunia perpolitikan istilah ini diartikan dengan ‘terorisme’. Namun pada hakikatnya istilah ‘irhab’
dalam al-Qur’an memiliki makna lain yang sama sekali tidak tidak ada
kaitannya dengan terorisme. Dengan demikian, bersandar kepada ayat-ayat
al-Qur’an baik yang dilakukan oleh sebagian teroris guna justifikasi
segala tindakan mereka, ataupun oleh musuh-musus Islam guna menuding
Islam sebagai agama teroris, sama sekali tidak mendasar dan tidak dapat
dibenarkan. Guna membuktikan hal ini, kita akan menyebutkan beberapa
ayat al-Qur’an yang mengandung istilah ini.
1. Hai
Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang Telah Aku anugerahkan
kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku
kepadamu; dan Hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk) (Q.S. Al-Baqarah: 40).
Di akhir ayat ini disebutkan ‘farhabûn’ yang berartikan takutlah atau tunduklah kalian kepada-Ku.
2. Musa
menjawab: "Lemparkanlah (lebih dahulu)!" Maka tatkala mereka
melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu
takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (mena'jubkan). (Q.S. Al-A’raf: 116).
Dalam ayat ini istilah ‘irhab’ yang disebutkan dengan kalimat ‘Istarhabûhun’ beratikan menakut-nakuti mereka atau menjadikan mereka takut, dimana yang melakukannya ialah para penyihir.
3. Sesudah
amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat)
itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang
yang takut kepada Tuhannya. (Q.S. Al-A’raf: 154)
Dalam ayat ini pun kata-kata ‘irhâb' yang disebutka dengan kalimat yurhibûn menunjukkan
kepada arti takut, dengan makna bahwa mereka yang takut kepada Allah
SWT dan akan mentaati segala ketetapan yang tercantum dalam luh-luh
Taurat.
4. Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan
itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain
mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa
saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan
cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Q.S. Al-Anfal: 60)
Kata-kata ‘irhab’ dalam ayat ini yang disebutkan dengan kalimat turhibûna berartikan
menakut-nakuti atau menggetarkan. Dengan artian bahwa dengan membangun
kekuatan dan mempersiapkan perlangkapan perang, musuh-musuh akan merasa
takut dan tidak akan mempunyai keberanian untuk menyerang.
5. Allah
berfirman: "Janganlah kamu menyembah dua tuhan; Sesungguhnya dialah
Tuhan yang Maha Esa, Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut". (Q.S. An-Nahl: 51)
Dalam ayat ini, kata-kata irhâb yang didebutkan denngan kalimat Farhabûn berartikan takut, dengan arti; takutlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian tunduk kepada selain-Ku!
6. Maka
kami memperkenankan doanya, dan kami anugerahkan kepada nya Yahya dan
kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap
dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami. (Q.S. Al-Anbiya’: 90)
Dalam ayat ini raghaban berartikan penuh harapan akan pahala serta rahmat Allah SWT dan rahaban berartikan kecemasan dan rasa takut akan siksa dan murka-Nya.
7. Masukkanlah
tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia keluar putih tidak bercacat bukan
Karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dada)mu bila
ketakutan, Maka yang demikian itu adalah dua mukjizat dari Tuhanmu (yang
akan kamu hadapkan kepada Fir'aun dan pembesar-pembesarnya).
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang fasik". (Q.S. Al-Qashash: 32)
Dalam ayat ini pun kata-kata rahb berartikan ketakutan.
8. Kemudian
kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul kami dan kami iringi
(pula) dengan Isa putra Maryam; dan kami berikan kepadanya Injil dan
kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan
kasih sayang. dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak
mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak
memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka kami berikan
kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di
antara mereka orang-orang fasik. (Q.S. Hadiid: 27)
Asal kata-kata rahbaniah beral dari kata rahbah yang
berartikan takut dan tuduk kepada Allah SWT, hanya saja istilah ini
sekarang lazim dinisbahkan kepada praktek dan ibadah khusus para
pendeta.
9. Sesungguhnya
kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah. yang demikian itu
Karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti. (Q.S. Al-Hasyr: 13)
Dalam ayat ini arti dari rahbatan
ialah takut dan yang dimaksud oleh ayat bahwa rasa takut orang-orang
munafik terhadap orang-orang mukmin melebihi rasa takut mereka kepada
Allah SWT.
Dari beberapa ayat ini dapat simpulkan bahwa ayat-ayat yang mengandung kata-kata ‘irhab’ dengan berbagai musytaq-nya sama sekali tidak sepadan dengan istilah ‘irhab’ yang sekarang ini umum diartikan ‘terorisme’. Selain itu, juga terbukti bahwa seluruh musytak kata-kata ‘irhab’ yang terkandung dalam ayat-ayat Allah SWT tidak bermuatan arti negatif, berbeda halnya istilah ‘irhab’ yang umum digunakan saat ini yang mengadung arti negatif.
Yang patut ditekankan di sini ialah, bahwa permasalahan terorisme dalam Islam tiak ada kaitannya dengan istilah ‘irhab’, namun
ia berkaitan dengan ayat-ayat yang menjunjung tinggi jiwa, harta dan
harkat martabat manusia. Dimana ayat-ayat ini tidak membenarkan dan
mengecam aksi-aksi terorisme yang membahayakan dan tidak mengabaikan
jiwa, hak dan kehormatan seorang manusia. Islam sangat melarang dan
sekali-kali tidak membenarkan seseorang untuk membunuh dan meregut nyawa
orang lain, kecuali pada kondisi tertentu yang menuntut.
Sebagai contoh dari hal ini dalam sebuah ayat Allah SWT berfirman, Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak
kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan
kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang
keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang
diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). (Q.S. Al-An’an: 151)
Menurut
ayat ini seluruh manusia apapun agama dan madzhabnya memiliki kemuliaan
tersendiri, dimana syariat suci Islam memerintahkan untuk menjaganya.
Islam hanya memperbolehkan untuk membunuh atau mengeksekusi mereka pada
lingkup dan kondisi yang sangat terbatas dan dengan alasan yang benar
dan rasional.
Selain
itu, juga tidak dapat dilupakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat hukuman
dan konsekwensi yang berat bagi mereka yang melakukan pengrusakan di
muka bumi dan aksi teror yang mengorbankan jiwa, harta dan kehormatan
orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam sejak masa
kemunculannya telah mengajak umat manusia untuk menjauhi tindakan
kekerasan dan aksi teror, tentunya dengan mengamalkan dengan baik
ajaran-ajaran agama Islam akan membentuk sebuah masyarakat yang tenteram
dan aman serta terhindar dari kejahatan terorisme.
Guna
merealisasikan hal ini dalam ayat lain al-Qur’an menganggap orang yang
membunuh seseorang tanpa alasan yang benar, sama seperti ia telah
membunuh seluruh seluruh manusia. Allah SWT berfirman,
“Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi,
Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang
kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan
yang jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itusungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (Q.S. Al-Maidah: 32).
Dari
ayat ini pun dapat difahami bahwa hanya terdapat dua kelompok manusia
yang layat untuk dibunuh atau di hukum mati, yang pertama ialah mereka
yang telah melakukan pembunuhan dengan sengaja, dan yang kedua ialah
mereka yang telah berbuat kerusakan di muka bumi. Jelaslah mengeksekusi
orang-orang yang tidak melakukann dua pelanggaran besar ini, sama sekali
tidak dapat dibenarkan dan pelakunya pun dianggap telah melakukan
pembunuhan seluruh manusia.
Ayat
ini dengan gamblang menunjukkan bahwa tindakan sebagian oknum yang
melakukan berbagai aksi teroris dengan mengatasnamakan Islam dan
al-Qur’an sama sekali tidak dibenarkan dan tidak memiliki legitimasi,
dimana tindakan ini muncul akibat pemahaman yang menyimpang atas
ayat-ayat al-Qur’an.
Terorisme Dalam riwayat
Sekalipun
dalam ayat-ayat al-Qur’an tidak ditemukan istilah yang benar-benar
sepadan dengan terorisme atau makna yang dekat dengan istilah ini, akan
tetapi dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah maupun Syi’ah terdapat
ibarat-ibarat yang dapat dijadikan pijakan untuk kita mengetahui
pandangan Islam mengenai terorisme. Meskipun istilah-istilah yang
terkandung dalam riwayat-riwayat memiliki pengertian lebih luas dbanding
dengan istilah terorisme, akan tetapi dengan merujuk kepada
riwayat-riwayat tersebut dengan mudah dapat difahami hukum islam
mengenai terorisme. Bahkan berdasarkan riwayat-riwayat ini, kita dapat
merumuskan definisi baru terorisme menurut perspektif Islam.
Sebagian istilah yang terkandung dalam riwayat-riwayat yang berkaitan dengan pemasalahan terorisme adalah:
1. Fatk
(membunuh, menyerang atau menyergap): guna menjelaskan akan keterkaitan
istilah ini dengan istilah terorisme, semula kita akan menyebutkan
ucapan beberapa ahli bahasa dan kemudian kita pun akan membawakan
beberapa riwayat yang berkaitan dengan permasalahan ini.
Jauhari dalam kamusnya As-Shahah berkenaan dengan istilah ini menyebutkan, “Fatk ialah seseorang mendatangi orang lain dan pada saat orang tersebut lupa secara tiba-tiba ia menyerangnya dan membunuhnya.”
Sebagaian lain ahli bahasa umumnya mengartikan fatk dengan makna di atas, namun sebagain penulis lainnya memberikan arti baru atas istilah ini dan mengatakan bahwa definis fatk
ialah menyerang atau membunuh seseorang di saat ia lalai, baik dengan
menggunakan sejata atau tidak, baik dengan alasan politik atau bukan.
Adapun riwayat-riwayat yang mengandung istilah fatk ialah sebagai berikut:
Dalam
sebuah riwayat yang menjadi sandaran para fuqaha’ disebutkan bahwa
seorang bernama Abu Shabah Kanani datang menghadap Imam Shadiq as dan
mengatakan bahwa ia mempunyai seorang tetangga yang bernama Ja’d bin
Abdullah yang sering kali menghina Imam Ali as, ia meminta kepada Imam
agar diizinkan untuk mendatangi dan bertamu ke rumahnya dan disaat
lengah, ia pun akan menyerang dan membunuhnya. Mendengar itu, Imam as
melarang dan tidak mengizinkan Abu Shabah untuk melakukan hal demikian
dan beliau bersabda, “Wahai Abu Shabah! Sesungguhnya perkerjaan tersebut
adalah fatk dan Rasulullah saw telah melarangnya. Wahai Abu Shabah sesungguhnya Islam telah mengikat (melarang) perbuatan fatk. Biarkanlah ia! Karena cukup baginya selain kamu.”
Dalam
riwayat lain disebutkan, saat Muslim bin Aqil memasuki kota Kufah, ia
telah berhasil mengendalikan kota Kufah dan mempersiapkan kedatangan
Imam Husain as. Akan tetapi dengan datangnya Ibnu Ziad (yang terlaknat)
keadaan menjadi berbalik, kekuasaan dan kendali kota kufah berada di
tangan Ibnu Ziad yang memimpin kota kufah dengan tangan besi.
Saat
di kota Kufah, Ibnu Ziad bermaksud untuk menjenguk Syarik bin A’war
salah seorang katua kabilah yang pada saat itu sedang sakit. Namun
Syarik yang merupakan pecinta dan pengikut Imam Ali as telah
menyembunyikan Muslim di dalam rumahnya agar apabila Ibnu Ziad datang,
ia dapat menyerang dan membunuh Ibnu Ziad secara tiba-tiba. Akan tetapi
Muslim menolak untuk melakukan hal demikian dan disaat diprotes oleh
Syarik, ia menyebutkan dua alasan yang menyebabkan penolakannya, dimana
salah satu alasannya ialah sabda Rasulullah saw yang berbunyi,
“Sesungguhnya keimanan telah merantai (mengikat) fatk, seorang mukmin dilarang untuk melakukan fatk terhadap mukmin lainnya”.
Banyak
hadis-hadis lain yang bernada serupa yang tercantum dalam kitab-kitab
hadis dan diriwayatkan dengan jalur yang berbeda. Salah satunya ialah
hadis yang berbunyi, “Di dalam Islam tidak ada tempat bagi ima’ dan juga fatk, sesungguhnya keimanan telah mengikat fatk”.
Sebagain
riwayat lain telah menentukan hukuman bagi para pelaku teror, dimana
hal ini menunjukkan akan penting dan mulianya jiwa dan harta manusia di
sisi Allah SWT. Berdasarkan sebagian riwayat, apabila seseorang
mendatangi seorang mukmin secara tiba-tiba guna membunuhnya atau
merampas hartanya, maka darahnya menjadi halal bagi seorang mukmin
tersebut. “Barang siapa yang secara tiba-tiba menyerang seorang mukmin
guna mebunuhnya atau merampas hartanya, dalam keadaan demikian darahnya
halal bagi orang mukmin itu”.
Sebagian ulama menyatakan bahwa hukum yang mengharamkan fatk
secara mutlak kebanyakan dihasilkan dari riwayat-riwayat palsu, hanya
riwayat yang bersumer dari Muslim bin ‘Agil lah yang termaksud katagori
shahih, namun riwayat ini pun tidak dapat menunjukkan akan keharaman fatk
secara mutlak. Kendati demikian, perlu diingat bahwa menetapkan
kepalsuan riwayat-riwayat yang ada merupakan permasalahan yang rumit.
Selain itu sebagain ulama ini pun tidak membawakan argumen yang
menunjukkan kepalsuan riwayat-riwayat tersebut.
Dilihat secara lahir, hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa fatk yang diharamkan adalah fatk yang dilakukan terhadap seorang mukmin. Tidak ada satupun dari riwayat tersebut yang menyatakan keharaman melakukan fatk terhadap orang kafir, meskipun sebagain riwayat yang ada bersifat mutlak yang melarang tindakan fatk baik terhadap orang mukmin maupun kafir.
Patut
disebutkan di sini bahwa bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa aksi
teror telah digunakan oleh musuh-musuh Islam khususnya Yahudi sejak masa
kemunculan agama Islam. Diriwayatkan bahwa suatu hari orang-orang
Yahudi bertekat untuk membunuh Nabi saw dengan cara mengundang beliau
dan saat beliau berada di majlis mereka, secara tiba-tiba mereka akan
membunuh beliau. Akan tetapi Allah SWT telah mengabarkan makar yang
direncanakan ini sehingga beliau pun tidak menghadiri undangan tersebut.
Selain riwayat ini, banyak riwayat-riwayat lain yang menceritakan bahwa
Rasulullah saw dan para imam suci as telah menghadapi gerakan
terorisme, dan bahkan sebagian dari Imam-imam Syi’ah telah meneguk cawan
syahadah dikarenakan tidakan keji terorisme.
2. Istilah lain yang berkaitan dengan permasalahan terorisme yang terdapat dalam riwayat-riwayat ialah istilah ‘ghilah’ atau ‘ightiyal’.
Mengenai arti leksikal istilah ini, dalam kamus Lisanu al-Arab dan
as-Shahah disebutkan, “Ghilah –dengan kasrah pada huruf Ghain- ialah
perbuatan dimana seseorang telah memperdayai seorang lainnya dengan
mengajaknya ke tempat tertentu dan sesampaiinya di tempat tersebut,
orang itu pun akan membunuhnya. Dalam kamus lain juga disebutkan, “Ghilah ialah menyerang dan membunuh seseorang saat orang tersebut sedang lalai”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ghilah
ialah perbuatan seseorang dimana dengan cara memperdaya sang korban, ia
pun akan membawanya ke tempat yang sepi atau tersembunyi dan di tempat
itulah orang itu akan membunuhnya.
Dari apa yang disebutkan di atas dapat diketahui titik perbedaan antara arti fatk dan ghilah. Sebagian ahli bahasa mengungkapkan secara jelas perbedaan arti antara dua istilah ini. Penulis kitab Gharib al-Hadist dalam mejelaskan perbedaann arti antara fatk dan ghilah menuliskan, “Ghilah
ialah pembunuhan yang dilakukan seseorang dengan cara memperdaya dengan
sesuatu sehingga ketika sang korban berada di tempat yang tersembunyi,
ia pun akan diserang dan dibunuh. Adapun fatk
ialah pembunuhan yang dilakukan seseorang dengan cara mendatangi sang
korban dan dikala sedang lalai dan tidak mengetahui bahwa ia akan
dibunuh, pada kesempatan tertentu ia pun akan segera dibunuh. Demikian
pula apabila seseorang bersembunyi di satu tempat -baik pada siang
maupun malam hari- dan ketika ia mendapatkan seorang yang ingin
dicelakainnya, ia akan segera menyerang dan membunuhnya.”
Ibnu Atsir saat menjelaskan perbededaan arti antara dua istilah di atas ini menuliskan, “Fatk
ialah tindakan seseorang yang dengan cara mendatangi sang koran
sehingga pada saat ia lalai, orang tersebut akan segera menyerang dan
membunuhnya. Adapun arti ghilah
ialah seseorang dengan cara memperdaya sang korban dan di saat ia
berada di tempat yang tersembunyi, orang itu pun akan membunuhnya”.
Di bawah ini kami akan sebutkan sebagian riwayat yang mengandung dua istilah di atas.
Dalam riwayat yang dinukil dari Imam Muhammad Jawad as disebutkan, “Hindarilah perbuatan fatk!
Sesungguhnya Islam telah mengikat (melarang) tindakan tersebut. Aku
khawatir apabila kamu melakukannya pembunuhan secara terbuka
(terang-terangan) dan saat kamu dipertanyakan, kamu tidak dapat
memberikan alasan yang tepat dan dapat diterima sehingga dengannya kamu
dapat membela dirimu, dengan demikian darah seorang mukmin dari pengikut
kami akan tertumpahkan lantaran tumpahnya darah seorang kafir. Maka
jauhilah tindakan pembunuhan dengan cara tipu daya (teror)!”.
Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Shadiq as, apakah boleh ightiyal (meneror) seorang nashibi
(yang memusuhi ahlul bayt as)? Imam as menjawab, “Jagalah amanat
seseorang yang telah mempercayaimu dan yang meminta nasihat dari mu!
Sekalipun terhadap orang yang telah membunuh al-Husain as”.
Riwayat ini menjelaskan dengan gamblang kepada kita akan terlarangnya tindakan teror sekalipun terhadap seorang nashibi.
Dalam
bebrbagai riwayat khususnya yang tertera dalam kitab-kitab Syiah, kita
banyak menemukan ungkapan yang menunjukkan bahwasansnya musuh-musuh
Islam hendak menghabisi nyawa para Imam suci as dengan meneror.
Sebagaimana yang disabdakan oleh imam Ali Ridha as, “Demi Allah!
Sesungguhnya aku akan terbunuh dengan diracuni, pembunuhan yang
dilakukan dengan ightiyal, aku mengetahui hal ini dengan perjanjian yang ada pada Rasulullah saw yang diberitakan oleh Jibrail as dari sisi Allah SWT”.
Dalam
riwayat yang menyebutkan solusi guna menghindari pembunuhan yang
dilakukan dengan tipu daya (teror) ini, juga menggunnakan istilah ightiyal.
Sebagai contoh dalam riwayat yang ditukil dari Imam Jakfar Shadiq as
disebutkan, “Sesungguhnya Islam mensyariatkan perdamaian (genjatan
senjata) ialah guna menjaga jiwa serta nyawa manusia, karena apabila ada
seorang fasik yang berkehendak untuk memperdaya dan memeror (an yaghtal)
seseorang di tempat yang tersembunyi, maka (dikarenakan perdamainya
yang telah terjalin) ia akan merasa takut sehingga ia akan mengurungkan
niatnya”.
Dari sekumpulan riwayat ini dapat disimpulkan bahwa fatk dan ghilah atau ightiyal
adalah istilah yang memiliki arti yang dekat dengan istilah terorisme.
Selain itu, dari riwayat-riwayat yang ada juga dapat dibbuktikan bahwa
Islam bukan hanya melarang atau mengharamkan tindakan tersebut, bahkan
ia pun berupaya untuk memberikan strategi dan metode guna menghadapi
tidakan keji ini, dengan harapan masyarakat islam akan terhindar dari
kejahatan yang ditimbulkan darinya.
J. Pandangan Ulama Mengenai Terorisme
Sebagian ulama dan fuqaha mengatakan bahwa istilah Muharabah dan Fasad fi al-ardh
merupakan dua istilah yang sepadan dengan istilah terorisme. Guna
menguji dan mengetahui sejauh mana kebenaran dakwaan ini, cukup bagi
kami untuk membawakan pengartian yang diberikan Shahib al-Jawahir,
karena definisi-definisi yang diberikan para ulama terkait dua istilah
ini, tidak terdapat pengbedaan yang mendasar.
Shahib al-Jawahir dalam mendefinisikan istilah muharib mengatakan, “Muharib
ialah seseorang yang menghunuskan senjata kepada orang lain dengan
maksud untuk menakut-nakutinya, baik tindakan ini dilakukan di dataran
atau di lautan, baik pada siang hari maupun malam hari dan baik di dalam
kota ataupun di wilayah lainnya”.
Dengan
menyoroti definisi ini, sebagian penulis mengatakan, “terorisme ialah
tindakan satu kelompok baik besifat individual, pemerintahan, partai,
sosial atau organisasi yang berfokus pada gerakan bersenjata dengan
tujuan menciptakan rasa takut dan mengancam stabilitas dan keamanan
sosial. Tindakan ini dalam sistem Islam disebut dengan muharabah, adapun kami menyebutnya sebagai terorisme”.
Akan tetapi pada hakikatnya, apabila istilah Muharib
dibandingkan dengan istilah terorisme, maka akan didapati bahwa istilah
muharib memiliki pengerian yang lebih luas, sehingga setiap orang yang Muharib
tidak dapat dikatagorikan sebagai teroris. Tentunya terorisme dengan
definisi dan arti sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan di atas.
Perlu
perhatikan di sini, apabila kita hendak mendefinisikan istilah
terorisme dengan definisi yang baru yang mencakup berbagai sisi
hukum-hukum islam tanpa merujuk kepada definisi-definisi yang ada, maka
dengan mempertimbangkan istilah-istilah Islam seperti Muharabah, Fasad fi al-ardh, fatk dan ghilah,
kita akan mencapai pada sebuah definisi yang walaupun berbeda dengan
definisi yang diutarakan oleh para ilmuan barat, akan tetapi
masing-masing dari definisi ini memiliki banyak titik persamaan.
Fatk dan ghilah
merupakan salah satu dari istilah yang banyak dan berulang kali
diutarakan oleh para fuqaha. Dimana di dalam banyak permasalahan, dua
istilah ini sering kali didapatkan. Sebagai contoh dalam pembahasan
“jaminan keamanan terhadap oran kafir”, sebagain fuqafa menegaskan bahwa
meskipun dikarenakan sebab tertentu perjanjian keamanan atau perjanjian
terhadap orang-orang kafir dzimmi dinyatakan gugur, akan tetapi tidak
ada hak bagi seorang pun untuk mencelakai seorang kafir ahli kitab atau
kafir harbi sekalipun, namun hendaknya mereka diungsikan ke wilayah yang
aman, sehingga di wilayah tersebut tidak ada orang yang akan mencelakai
atau membunuh mereka.
Selain itu pernyataan-pernyataan para fuqaha dalam permasalahan Mu’ahadah
(perjanjian) dapat dijadikan rujukan bagi kajian terorisme. Dalam
permasalahan ini disebutkan bahwa berdasarkan argumen-argumen al-Qur’an,
hadis dan rasional tidak diperbolehkan bagi sebuah negara Islam untuk
melanggar perjanjian yang telah ditandatanganinya. Apabila sabuah negara
islam telah menandatangani perjanjian untuk memerangi terorisme, maka
atas dasar hukum Islam negara tersebut haruslah komitmen dengan apa yang
telah disepakatinya. Pada dasarnya perkara ini merupakan sebuah
kejelasan, sehingga mereka yang non-muslim pun menyadari akan
permasalahan ini.
Masalah
“perjanjian” merupakan permasalahan yang luas dan pelik, sehingga tidak
dapat diutarakan secara rinci dalam makalah yang singkat ini. Meski
demikian dapat dikatakan bahwa merupakan sebuah kejelasan, perjanjian
yang terjalin antar negara-negara yang ada dan antara negara-negara
islam, khususnya guna memerangi gerakan teroris, maka kedua belah pihak
haruslah konsisten dengan perjanjian yang telah disepakati dengan
berupaya keras dalam memerangi gerakan itu.
Kesimpulan
Peristiwa
11 September telah dijadikan dalih dalih untuk mencuatkan kembali
permasalahan teror dan terorisme hingga menjadi isu internasional, dan
agama suci Islam menjadi terget sasaran media-media barat. Sejak saat
itu, tuduhan terorisme diarahkan ke dunia Islam sehingga munculah rasa
kecurigaan terhadap ajaran-ajaran suci Islam. Maka dari itu, mengkaji
permasalahan ini dalam dunia Islam merupakan hal yang sangat penting
sehingga pasca terjadinya pristiwa tersebut hingga saat ini, banyak
makalah-makalah maupun buku-buku yang disajikan terkait isu ini.
Tentunya guna mengkaji secara mendalam akar permasalahan ini, sebelum
sesuatunya haruslah kita ketahui definisi dan pengertian dari terorisme
sehingga esensi keberadaannya dapat kita kenal dengan baik. Namun
dikarenakan berbagai faktor, para ilmuan dari berbagai negara hingga
saat ini belum mencapai kesepakan dalam mendefinisikan istilah
terorisme, bahkan PBB pun menghadapai problema yang serupa.
Untuk
sekian kali telah diupayakan dalam berbagai perundingan guna mencapai
kesepakatan dalam mendefinisikan secara global istilah terorisme, dengan
harapan istilah ini dapat diterima dan menjadi pijakan bagi
negara-negara anggota. Namun upaya ini acap kali gagal, dikarenakan di
satu sisi sebagian negara-negara arogan hendak mengkategorikan
gerakan-gerakan perjuangan untuk kebebasan sebagai gerakan-gerakan
teroris, dan di sisi lain sebagian negara lain menyatakan dukungannya
atas gerakan-gerakan semacam ini, bahkan sebagian negara lainnya
mengiinkan negara-negara anggota untuk turut mendukung dan membantu
pergerakan-pergerakan tersebut.
Kendati
demikian sebagian ilmuan dan politisi dari maca negara telah berupaya
untuk mendefinisikan terorisme sehingga sedikit banyaknya ada kejelasaan
bagi masyarakat dalam menyikapi gerakan teroris. Akan tetapi hal ini
pun belum menyelesaikan problem secara tuntas, karena definisi-definisi
yang dirumuskan para ahli ini, merupakan buah dari cara pandang dan
kerangka berfikir mereka, oleh karenanya sebagian kelompok dapat
menerima definisi tersebut, namun sebagain kelompok lain menolaknya.
Sangat dimungkinkan seseorang berdasarkan salah satu definisi yang ada
dapat dikatagorikan sebagai teroris, akan tetapi berdasarkan definisi
lainnya ia dapat disebut sebagai seorang pejuang yang telah mengorbankan
jiwa dan raganya guna membebaskan bangsa dan negaranya dari kezaliman
atau penjajahan.
Poin
yang patut diperhatikan di sini ialah, meskipun istilah terorisme
memiliki pengertian dan definisi yang beragam, namun diantara definisi
yang ada kita dapat menemukan titik-titik persamaan, sehingga paling
tidak dapat membantu kita untuk mengenal esensi dari terorisme. Atas
dasar ini, dapat dikatakan bahwa gerakan terorisme minimal memiliki
kriteria-kriteria seperti, bertujuan untuk menciptakan kecemasan di
masyarakat, beraksi secara tiba-tiba dan tidak sulit untuk
diprediksikan, menggunakan cara-cara yang ilegal dan bermotif politik.
Setelah
mengkaji definisi terorisme, makalah ini pun menyoroti masalah
terorisme menurut padangan Islam. Dimana berdasarkan ayat-ayat
al-Qur’an, hadis-hadis dan pernyataan-pernyataan fuqaha dapat
disimpulkan bahwa meskipun dalam teks-teks agama Islam tidak disebutkan
kata atau istilah yang benar-benar sepadan dengan istilah terorisme,
akan tetapi dari naskah-naskah yang ada kita mendapatkan bahwa sejak
awal kemunculannya, Islam telah melarang setiap orang muslim untuk
melakukan aksi teror, bahkan tidak cukup hanya itu, Islam pun telah
memberikan solisi dan strategi guna menghadapi dan memerangi gerakan
terorisme.
Dalam beberapa ayat al-Qur’an terdapat istilah-istilah seperti istilah irhab,
dimana sebagian orang menganggap istilah ini sepadan dengan istilah
terorisme yang ramai dibicarakan saat ini. Akan tetapi dengan merujuk
ayat-ayat lainnya yang mengandung kata-kata atau istilah ini, dapat
dibuktikan bahwa arti dari kata atau istilah ini sangat berbeda dengan
arti terorisme, dimana untuk mengetahui makna dari istilah-istilah ini,
cukup kita merujuk arti leksikal dari kata-kata tersebut. Atas dasar
ini, justifikasi yang dilakukan sebagian yang mencari pembenaran aksi
terorisme dengan dalih ayat-ayat al-Qur’an, sama sekali tidak dapat
dibenarkan. Selain itu, musuh-musuh Islam pun tidak dapat menuding Islam
sebagai agama teroris dengan dalih adanya ayat-ayat yang mengandung
kata-kata di atas.
Dengan
mempelajari sebagian ayat-ayat al-Qur’an kita dapat mengetahui bahwa
menurut pandangan Islam, darah, harta dan kehormatan seseorang memiliki
kohormatan dan kemuliaan yang tinggi. Dengan pandangan ini, Islam sama
sekali tidak membenarkan aksi terorisme meskipun dengan alasan untuk
membela agama. Menurut pandagan Islam, kemuliaan harta, jiwa dan
kehormatan seseorang hanya akan gugur pada kondisi-kondisi tertentu yang
telah digariskan dalam syariat Islam, dan tentunya dengan menjaga
sisi-sisi yang ada lainnya. Selain itu pun Islam memberikan kebebasan
kepada orang-orang kafir yang mengakui legalitas agama Islam.
Terdapatnya
penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dan juga hadis-hadis akan trategi atau
solusi dalam menghadapi orang-orang yang melakukan pengrusakan di muka
bumi, menandakan akan perhatian Islam akan keamanan dan ketenteraman
masyarakat, dalam rangka menjaga jiwa dan harta seorang warga. Kita pun
dapat menyaksikan bahwa dalam Islam terdapat hukuman dan sangsi yang
berat bagi mereka yang melakukan aksi teror, sudah barang tentu hal ini
dapat berpengaruh dalam meminimalisir operasi-operasi teror yang ada.
Dalam
berbagai riwayat pun terdapat istilah-istilah yang memiliki makna yang
berdekatan dengan pengertian terorisme. istilah tersebut diantaranya
adalah fatk, ghilah dan muharabah, diimana secara tegas islam melarang tindakan-tindakan tersebut. Dikatakan bahwa arti dati fatk ialah tindakan seseorang yang menyerang orang lain dan membunuhnya saat ia sedang lalai. Adapun arti ghilah
ialah pekerjaan seseorang yang dengan memperdaya, ia akan membawa sang
korban ke tempat yang tersembunyi dan disanalah ia akan membunuhnya.
Selain
ayat-ayat dan hadis-hadis, juga terdapat pernyataan-pernyataan fuqafa
yang memiliki pengertian yang dekat dengan istilah terorisme, seperti
istilah muharabah dan fasad fi al-ardh,
dimana sebagian ulama mengatakan bahwa dua istilah ini memiliki arti
yang sepadan dengan istilah terorisme, namun pada hakikatnya dua istilah
ini memiliki makna yang lebih umum dibanding dengan istilah terorisme.
Fatk dan ghilah
merupakan istilah yang sering kali ditemukan dalam ucapan-ucapan para
fuqaha. Dengan ini, akan lebih baik jika dua istilah ini dikaji lebih
mendalam lagi, sehingga kita dapat lebih mnegenal pandangan Islam
mengenai terorisme.
Ringkasnya,
agama suci Islam mengandung ajaran-ajaran yang bukan hanya melarang dan
menyatakan keilegalan segala bentuk tindakan terorisme, bahkan melihat
solusi yang ditawarkan guna mengahdapi gerakan terorisme, ajaran-ajaran
tersebut dapat menjadi acuan bagi undang-undang internasional dalam
rangka memberantas akar terorisme dari dunia ini. Oleh karenanya,
negara-negara Islam hendaknya menjadikan OKI sebagai wadah untuk
mengkaji dan merumuskan undang-undang tersebut, sehingga ketika tercapai
kesepakatan, negara-negara anggota dengan serempak dapat menerapkan
undang-undang tersebut. dapat dipastikan di masa pendatang dunia
internasionalpun akan merujuk kepada undang-undang ini sehingga pada
akhirnya ajaran-ajaran agama Islam dapat dimanfaatkan masyarakat
internasional.
Masukan dan Usulan
Mengacu
dari keyakinan bahwa keberhasilan dalam memerangi terorisme akan
tercapai dengan memperhatikan hak-hak Ilahi di sisi hak-hak manusiawi,
dimana setiap pengertian akan terorisme tidak akan sempurna jika tidak
mempertimbangkan dua sisi ini. Makalah ini berupaya untuk membuktikan
bahwa agama Islam memiliki kepedulian yang tinggi seputar masalah
terorisme. Dan merurut pandangan Islam, definisi yang diutarkan para
ilmuan barat mengenai istilah terorisme merupakan batas minimal sesuatu
yang harus ditekankan dalam sebuah masyarakat, namun ia tidak dapat
menjadi penjamin bagi keamanan dunia. Maka dari itu, hendaknya para
ilmuan muslim dengan memperhatikan hak-hak Ilahi atas manusia dan
hak-hak manusia terhadap sesama, hendaknya merumuskan definisi baru
terkait masalah ini. Dan untuk mencapai tujuan ini, hedaknya mereka
menjauhi pola pemikiran barat dalam pendefinisian terorisme, sehingga
mereka dapat mengidentifikasi hakikat terorisme sesuai perspektif Islam.
Karena tanpa demikian, kita tidak akan ada definisi terorisme yang
Islami menurut pandangan islam yang pada akhirnya kita pun tidak akan
mencapai solusi yang matang guna memerangi gerakan terorisme.
Wakil-wakil
negara Islam dalam OKI hendaknya secara konsisten memperhatikan
permasalahan terorisme ini dan dengan mengemukakan pandangan politik
Islam dalam masalah ini, mereka dapat memberikan solusi kepada
masyarakat internasional sehingga mereka dapat terbebas dari fenomena
yang memilukan ini. Dengan jalan ini, mereka dapat menarik opini
negara-negara lainya ke arah konsep mereka rumuskan, sehingga
masing-masing akan memunyai satu persepsi dan konsep dalam menghadapi
gerakan teroris. Tanpa hal ini, dunia Islam akan selalu mejadi target
serangan musuh-musuh dan akan senantiasa tertuduh sebagai agama teroris.
Perserikatan
Bangsa-Bangsa pun hanya akan mencapai definisi global yang disepakati
negara-negara anggota, jika perserikatan ini juga mempertimbangkan
ajaran-ajaran agama serta hak-ahk Ilahi di sisi hak-hak manusia. Tanpa
hal ini, segala upaya yang dikerahkan guna berperang melawan terorisme,
tidak akan membuahkan hasil.
[1] Jack C. Plano & Roy Olton, The International Relations Dictionary (USA: Longman, 1988
[2] Fashle Nomeh Misbah, Teheran 1392 H.Q.
[3] Jakfari Langgarudi, Terminolozi-e Huquq, hlm. 150.
[4] Ghulam Reza Babai, Farhang Rawobit Baena Milaly, hlm. 55.
[5] Fashle Nomeh Misbah, Ibid
[6] Hasan Ali Zadeh, Farhang-e Khos Ulum-e Siyosi, hlm. 271.
[7] Jack Sie, Farhang Rawobit Baenal Milaly, hlm. 243.
[8] Ilham Amin Zadeh, Fashle Nomeh Rahburd, Teheran 1380 H.Q.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar